Proses integrasi dapat dilihat melalui proses-proses berikut.
Asimilasi (assimilation)
Asimilasi merupakan suatu proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha untuk mengurangi perbedaan-perbedaan yang ada di antara individu atau kelompok dalam masyarakat. Dalam proses ini, setiap individu dalam masyarakat berusaha untuk mempertinggi kesatuan tindakan, sikap, dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan dan tujuan bersama. Saat itu, setiap anggota kelompok dan masyarakat tidak lagi membedakan dirinya dengan anggota yang lainnya. Batas-batas di antara mereka akan hilang dan lebur menjadi satu kesatuan. Asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-sikap yang sama, walau terkadang bersifat emosional, dengan tujuan mencapai kesatuan (integrasi).
Akulturasi
Menurut Koentjaraningrat, akulturasi adalah proses sosial yang terjadi bila kelompok sosial dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada kebudayaan asing yang berbeda. Proses sosial itu akan berlangsung hingga unsur kebudayaan asing itu diterima masyarakat dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri. Namun, umumnya akulturasi berlangsung tanpa menghilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa akulturasi merupakan proses perubahan yang ditandai dengan terjadinya penyatuan dua kebudayaan yang berbeda. Penyatuan tersebut menyebabkan kebudayaan yang satu hampir menyerupai kebudayaan yang lain. Namun, masing-masing kebudayaan masih mempertahankan ciri khasnya.
Proses akulturasi sudah ada sejak dahulu dalam sejarah kebudayaan manusia. Hal itu disebabkan oleh manusia selalu melakukan migrasi atau gerak perpindahan di muka bumi. Migrasi itu menyebabkan pertemuan-pertemuan antara kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Akibatnya, setiap individu dalam kelompok-kelompok itu akan dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan yang asing baginya.
Pertama kali, unsur-unsur baru yang datang tidak langsung diterima atau diadaptasi begitu saja, tetapi melalui proses pembelajaran terlebih dahulu. Jika mendatangkan manfaat besar, kebudayaan asing tersebut akan diterimanya. Sebaliknya, jika tidak, akan ditolak. Penerimaan tersebut mungkin saja terjadi setelah melalui perubahan-perubahan tertentu (modifikasi) yang sesuai dengan struktur masyarakat yang ada.
Kebudayaan asing akan relatif mudah diterima apabila memenuhi syarat-syarat berikut ini.
1. Tidak ada hambatan geografis, seperti daerah yang sulit dijangkau.
2. Kebudayaan yang datang memberikan manfaat yang lebih besar bila dibandingkan dengan kebudayaan yang lama.
3. Adanya persamaan dengan unsur-unsur kebudayaan lama.
4. Adanya kesiapan pengetahuan dan keterampilan tertentu.
5. Kebudayaan itu bersifat kebendaan.
Monday, March 28, 2016
Pengertian Konflik
Kata konflik berasal dari bahasa Latin configere yang artinya saling memukul. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konflik didefinisikan sebagai percekcokan, perselisihan, atau pertentangan. Dengan demikian, secara sederhana, konflik merujuk pada adanya dua hal atau lebih yang berseberangan, tidak selaras, dan bertentangan. Sebagai contoh, A dan B berkonflik karena mereka berdua memiliki pandangan yang berbeda tentang cara memperoleh nilai yang baik. Si A berpandangan bahwa untuk mendapatkan nilai yang baik, menyontek adalah hal yang wajar. Sebaliknya, si B berpandangan bahwa untuk mendapatkan nilai yang baik, menyontek adalah hal yang tidak baik dan tidak wajar.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih yang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Soerjono Soekanto menyebut konflik suatu proses sosial individu atau kelompok yang berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan, yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan. Lewis A. Coser berpendapat bahwa konflik adalah sebuah perjuangan mengenai nilai atau tuntutan atas status, kekuasaan, dan sumber daya yang bersifat langka dengan maksud menetralkan, mencederai, atau melenyapkan lawan.
Gillin dan Gillin melihat konflik sebagai bagian dari proses interaksi sosial manusia yang saling berlawanan (oppositional process). Artinya, konflik adalah bagian dari sebuah proses interaksi sosial yang terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan fisik, emosi, kebudayaan, dan perilaku.
Konflik lahir dari kenyataan akan adanya perbedaan-perbedaan, misalnya perbedaan ciri badaniah, emosi, kebudayaan, kebutuhan, kepentingan, atau pola-pola perilaku antarindividu atau kelompok dalam masyarakat. Menurut Dahendorf, masyarakat terdiri atas organisasi-organisasi yang didasarkan pada kekuasaan atau wewenang. Kekuasaan adalah dominasi satu pihak atas pihak lain berdasarkan paksaan, sedangkan wewenang adalah dominasi yang diterima dan diakui oleh pihak yang didominasi. Dahendorf menamakan kondisi itu sebagai "imperative coordinated associations” (asosiasi yang dikoordinasikan secara paksa). Kepentingan yang berbeda antara kedua belah pihak berbeda dalam asosiasi-asosiasi tersebut akan menimbulkan polarisasi dan konflik antara dua kelompok. Sebagai contoh, pihak penguasa berkepentingan untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan pihak yang dikuasai berkepentingan untuk memperoleh kekuasaan. Keberhasilan kelompok yang dikuasai untuk merebut kekuasaaan akan menyebabkan terjadinya perubahan sosial.
Perbedaan-perbedaan itu memuncak menjadi konflik ketika sistem sosial masyarakatnya tidak dapat mengakomodasi perbedaan-perbedaan tersebut. Hal itu mendorong masing-masing individu atau kelompok untuk saling menghancurkan. Dalam hal ini, Soerjono Soekanto mengatakan bahwa "perasaan" memegang peranan penting dalam mempertajam perbedaan-perbedaan tersebut. Perasaan-perasaan, seperti amarah dan rasa benci, mendorong masing-masing pihak untuk menekan atau menghancurkan individu atau kelompok lawan. Sementara itu, menurut De Moor, sistem sosial dapat dikatakan mengandung konflik hanya jika para penghuni sistem tersebut membiarkan dirinya dibimbing oleh tujuan-tujuan (atau nilai-nilai) yang bertentangan dan terjadi secara besar-besaran.
Lewis A. Coser menyatakan bahwa konflik terbuka lebih umum terjadi pada hubungan-hubungan sosial yang parsial daripada hubungan-hubungan sosial yang personal dan intim. Hubungan sosial parsial misalnya hubungan antarpartner bisnis, sedangkan hubungan sosial yang intim misalnya hubungan antaranggota keluarga, antaranggota suku, dan antarwarga negara. Meskipun demikian, perbedaan atau perselisihan dalam hubungan sosial yang intim juga merupakan potensi konflik yang sewaktu-waktu dapat meledak dan lebih menghancurkan daripada konflik yang terjadi dalam hubungan sosial parsial. Coser menyatakan bahwa dalam hubungan yang intim, umumnya, orang berusaha menekan rasa permusuhan demi menghindari konflik. Namun, hal itu akan menyebabkan akumulasi permusuhan yang sewaktu-waktu bisa meledak. Sebagai contoh, suami dan istri dapat berbeda pandangan tentang penggunaan pendapatan keluarga. Karena ingin melanggengkan perkawinan, keduanya enggan bertikai tentang masalah tersebut. Tindakan mengabaikan perbedaan pendapat itu tidak ada artinya bila suatu saat konflik itu meledak. Bila hal itu terjadi, masalah tambahan juga dapat muncul ke permukaan, seperti tentang kaca jendela yang dipecahkan anak atau gaya susunan mebel yang dipilih oleh sang istri. Bahkan, konflik-konflik lain (konflik nonrealistik), seperti kekecewaan karena majikan enggan menaikan gaji, akan menambah luapan konflik tersebut. Dengan cara pandang seperti itu, kita dapat memahami konflik yang terjadi antara daerah dan pemerintah pusat di negara-negara berkembang.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih yang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Soerjono Soekanto menyebut konflik suatu proses sosial individu atau kelompok yang berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan, yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan. Lewis A. Coser berpendapat bahwa konflik adalah sebuah perjuangan mengenai nilai atau tuntutan atas status, kekuasaan, dan sumber daya yang bersifat langka dengan maksud menetralkan, mencederai, atau melenyapkan lawan.
Gillin dan Gillin melihat konflik sebagai bagian dari proses interaksi sosial manusia yang saling berlawanan (oppositional process). Artinya, konflik adalah bagian dari sebuah proses interaksi sosial yang terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan fisik, emosi, kebudayaan, dan perilaku.
Konflik lahir dari kenyataan akan adanya perbedaan-perbedaan, misalnya perbedaan ciri badaniah, emosi, kebudayaan, kebutuhan, kepentingan, atau pola-pola perilaku antarindividu atau kelompok dalam masyarakat. Menurut Dahendorf, masyarakat terdiri atas organisasi-organisasi yang didasarkan pada kekuasaan atau wewenang. Kekuasaan adalah dominasi satu pihak atas pihak lain berdasarkan paksaan, sedangkan wewenang adalah dominasi yang diterima dan diakui oleh pihak yang didominasi. Dahendorf menamakan kondisi itu sebagai "imperative coordinated associations” (asosiasi yang dikoordinasikan secara paksa). Kepentingan yang berbeda antara kedua belah pihak berbeda dalam asosiasi-asosiasi tersebut akan menimbulkan polarisasi dan konflik antara dua kelompok. Sebagai contoh, pihak penguasa berkepentingan untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan pihak yang dikuasai berkepentingan untuk memperoleh kekuasaan. Keberhasilan kelompok yang dikuasai untuk merebut kekuasaaan akan menyebabkan terjadinya perubahan sosial.
Perbedaan-perbedaan itu memuncak menjadi konflik ketika sistem sosial masyarakatnya tidak dapat mengakomodasi perbedaan-perbedaan tersebut. Hal itu mendorong masing-masing individu atau kelompok untuk saling menghancurkan. Dalam hal ini, Soerjono Soekanto mengatakan bahwa "perasaan" memegang peranan penting dalam mempertajam perbedaan-perbedaan tersebut. Perasaan-perasaan, seperti amarah dan rasa benci, mendorong masing-masing pihak untuk menekan atau menghancurkan individu atau kelompok lawan. Sementara itu, menurut De Moor, sistem sosial dapat dikatakan mengandung konflik hanya jika para penghuni sistem tersebut membiarkan dirinya dibimbing oleh tujuan-tujuan (atau nilai-nilai) yang bertentangan dan terjadi secara besar-besaran.
Lewis A. Coser menyatakan bahwa konflik terbuka lebih umum terjadi pada hubungan-hubungan sosial yang parsial daripada hubungan-hubungan sosial yang personal dan intim. Hubungan sosial parsial misalnya hubungan antarpartner bisnis, sedangkan hubungan sosial yang intim misalnya hubungan antaranggota keluarga, antaranggota suku, dan antarwarga negara. Meskipun demikian, perbedaan atau perselisihan dalam hubungan sosial yang intim juga merupakan potensi konflik yang sewaktu-waktu dapat meledak dan lebih menghancurkan daripada konflik yang terjadi dalam hubungan sosial parsial. Coser menyatakan bahwa dalam hubungan yang intim, umumnya, orang berusaha menekan rasa permusuhan demi menghindari konflik. Namun, hal itu akan menyebabkan akumulasi permusuhan yang sewaktu-waktu bisa meledak. Sebagai contoh, suami dan istri dapat berbeda pandangan tentang penggunaan pendapatan keluarga. Karena ingin melanggengkan perkawinan, keduanya enggan bertikai tentang masalah tersebut. Tindakan mengabaikan perbedaan pendapat itu tidak ada artinya bila suatu saat konflik itu meledak. Bila hal itu terjadi, masalah tambahan juga dapat muncul ke permukaan, seperti tentang kaca jendela yang dipecahkan anak atau gaya susunan mebel yang dipilih oleh sang istri. Bahkan, konflik-konflik lain (konflik nonrealistik), seperti kekecewaan karena majikan enggan menaikan gaji, akan menambah luapan konflik tersebut. Dengan cara pandang seperti itu, kita dapat memahami konflik yang terjadi antara daerah dan pemerintah pusat di negara-negara berkembang.
Pengertian Integrasi Sosial
Dalam KBBI disebutkan bahwa integrasi adalah pembauran sesuatu yang tertentu hingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat. Istilah pembauran tersebut mengandung arti masuk ke dalam, menyesuaikan, menyatu, atau melebur sehingga menjadi seperti satu. Dengan demikian, integrasi merujuk pada masuk, menyesuaikan, atau meleburnya dua atau lebih hal yang berbeda sehingga menjadi seperti satu. Dari uraian tersebut, dapat kita simpulkan bahwa integrasi sosial adalah proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan. Unsur-unsur yang berbeda tersebut dapat meliputi perbedaan kedudukan sosial, ras, etnik, agama, bahasa, kebiasaan, sistem nilai, dan norma.
Abu Ahmadi melihat bahwa dalam integrasi masyarakat terdapat kerja sama dari seluruh anggota masyarakat, mulai dari tingkat individu, keluarga, lembaga, dan masyarakat sehingga menghasilkan konsensus (kesepakatan) nilai yang sama-sama dijunjung tinggi. Namun, menurut Abdul Syani, integrasi sosial tidak cukup diukur dari kriteria berkumpul atau bersatunya anggota masyarakat dalam arti fisik. Konsensus juga merupakan pengembangan sikap solidaritas dan perasaan manusiawi. Pengembangan sikap dan perasaan manusia tersebut merupakan dasar dari keselarasan suatu kelompok atau masyarakat.
Banton mendefinisikan integrasi sebagai suatu pola hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak memberikan fungsi penting pada perbedaan ras tersebut. Hak dan kewajiban yang terkait serta ras seseorang hanya terbatas pada bidang tertentu saja dan tidak ada sangkut pautnya dengan bidang pekerjaan atau status.
Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian besar anggota masyarakat tersebut sepakat mengenai struktur kemasyarakatan yang dibangun termasuk nilai-nilai, norma-norma, dan pranata-pranata sosialnya. Menurut William F. Ogburn dan Mayer Nimkoff, syarat terjadinya suatu integrasi sosial adalah sebagai berikut.
1. Anggota-anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil saling mengisi kebutuhan-kebutuhan mereka. Hal itu berarti kebutuhan fisik dan sosialnya dapat dipenuhi oleh sistem sosial mereka. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut menyebabkan setiap anggota masyarakat saling menjaga keterikatan antara satu dengan yang lainnya.
2. Masyarakat berhasil menciptakan kesepakatan (consensus) bersama mengenai norma dan nilai-nilai sosial yang dilestarikan dan dijadikan pedoman dalam berinteraksi antara satu dan lainnya, termasuk menyepakati hal-hal yang dilarang menurut kebudayaannya.
3. Norma-norma dan nilai sosial itu berlaku cukup lama, tidak mudah berubah, dan dijalankan secara konsisten oleh seluruh anggota masyarakat.
Suatu integrasi sosial dapat berlangsung cepat atau lambat, tergantung pada faktor-faktor berikut.
1. Homogenitas kelompok
Dalam kelompok atau masyarakat yang tingkat kemajemukannya rendah, integrasi sosial akan mudah dicapai. Sebaliknya, dalam kelompok atau masyarakat majemuk, integrasi sosial akan sulit dicapai dan memakan waktu yang sangat lama. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa semakin homogen suatu kelompok atau masyarakat, semakin mudah pula proses integrasi antara anggota di dalam kelompok atau masyarakat tersebut. Contoh kelompok atau masyarakat yang homogen adalah kelompok atau masyarakat dengan satu suku bangsa.
2. Besar kecilnya kelompok
Umumnya, dalam kelompok yang kecil, tingkat kemajemukan anggotanya relatif rendah sehingga integrasi sosialnya akan lebih mudah tercapai. Hal itu dapat disebabkan, dalam kelompok kecil, hubungan sosial antaranggotanya terjadi secara intensif sehingga komunikasi dan tukar-menukar budaya akan semakin cepat. Dengan demikian, penyesuaian atas perbedaan-perbedaan dapat lebih cepat dilakukan. Sebaliknya, dalam kelompok besar, yang tingkat kemajemukannya relatif tinggi, integrasi sosial akan lebih sulit dicapai.
3. Mobilitas geografis
Anggota kelompok yang baru datang tentu harus menyesuaikan diri dengan identitas masyarakat yang ditujunya. Namun, semakin sering anggota masyarakat datang dan pergi, akan semakin sulit pula proses integrasi sosial. Sementara itu, dalam masyarakat yang mobilitasnya rendah, seperti daerah atau suku terisolasi, integrasi sosial dapat cepat terjadi.
4. Efektivitas komunikasi
Efektivitas komunikasi yang baik dalam masyarakat juga akan mempercepat integrasi sosial. Semakin efektif komunikasi berlangsung, semakin cepat integrasi anggota-anggota masyarakat tercapai. Sebaliknya, semakin tidak efektif komunikasi yang berlangsung antaranggota masyarakat, semakin lambat dan sulit integrasi sosial tercapai.
Abu Ahmadi melihat bahwa dalam integrasi masyarakat terdapat kerja sama dari seluruh anggota masyarakat, mulai dari tingkat individu, keluarga, lembaga, dan masyarakat sehingga menghasilkan konsensus (kesepakatan) nilai yang sama-sama dijunjung tinggi. Namun, menurut Abdul Syani, integrasi sosial tidak cukup diukur dari kriteria berkumpul atau bersatunya anggota masyarakat dalam arti fisik. Konsensus juga merupakan pengembangan sikap solidaritas dan perasaan manusiawi. Pengembangan sikap dan perasaan manusia tersebut merupakan dasar dari keselarasan suatu kelompok atau masyarakat.
Banton mendefinisikan integrasi sebagai suatu pola hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak memberikan fungsi penting pada perbedaan ras tersebut. Hak dan kewajiban yang terkait serta ras seseorang hanya terbatas pada bidang tertentu saja dan tidak ada sangkut pautnya dengan bidang pekerjaan atau status.
Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian besar anggota masyarakat tersebut sepakat mengenai struktur kemasyarakatan yang dibangun termasuk nilai-nilai, norma-norma, dan pranata-pranata sosialnya. Menurut William F. Ogburn dan Mayer Nimkoff, syarat terjadinya suatu integrasi sosial adalah sebagai berikut.
1. Anggota-anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil saling mengisi kebutuhan-kebutuhan mereka. Hal itu berarti kebutuhan fisik dan sosialnya dapat dipenuhi oleh sistem sosial mereka. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut menyebabkan setiap anggota masyarakat saling menjaga keterikatan antara satu dengan yang lainnya.
2. Masyarakat berhasil menciptakan kesepakatan (consensus) bersama mengenai norma dan nilai-nilai sosial yang dilestarikan dan dijadikan pedoman dalam berinteraksi antara satu dan lainnya, termasuk menyepakati hal-hal yang dilarang menurut kebudayaannya.
3. Norma-norma dan nilai sosial itu berlaku cukup lama, tidak mudah berubah, dan dijalankan secara konsisten oleh seluruh anggota masyarakat.
Suatu integrasi sosial dapat berlangsung cepat atau lambat, tergantung pada faktor-faktor berikut.
1. Homogenitas kelompok
Dalam kelompok atau masyarakat yang tingkat kemajemukannya rendah, integrasi sosial akan mudah dicapai. Sebaliknya, dalam kelompok atau masyarakat majemuk, integrasi sosial akan sulit dicapai dan memakan waktu yang sangat lama. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa semakin homogen suatu kelompok atau masyarakat, semakin mudah pula proses integrasi antara anggota di dalam kelompok atau masyarakat tersebut. Contoh kelompok atau masyarakat yang homogen adalah kelompok atau masyarakat dengan satu suku bangsa.
2. Besar kecilnya kelompok
Umumnya, dalam kelompok yang kecil, tingkat kemajemukan anggotanya relatif rendah sehingga integrasi sosialnya akan lebih mudah tercapai. Hal itu dapat disebabkan, dalam kelompok kecil, hubungan sosial antaranggotanya terjadi secara intensif sehingga komunikasi dan tukar-menukar budaya akan semakin cepat. Dengan demikian, penyesuaian atas perbedaan-perbedaan dapat lebih cepat dilakukan. Sebaliknya, dalam kelompok besar, yang tingkat kemajemukannya relatif tinggi, integrasi sosial akan lebih sulit dicapai.
3. Mobilitas geografis
Anggota kelompok yang baru datang tentu harus menyesuaikan diri dengan identitas masyarakat yang ditujunya. Namun, semakin sering anggota masyarakat datang dan pergi, akan semakin sulit pula proses integrasi sosial. Sementara itu, dalam masyarakat yang mobilitasnya rendah, seperti daerah atau suku terisolasi, integrasi sosial dapat cepat terjadi.
4. Efektivitas komunikasi
Efektivitas komunikasi yang baik dalam masyarakat juga akan mempercepat integrasi sosial. Semakin efektif komunikasi berlangsung, semakin cepat integrasi anggota-anggota masyarakat tercapai. Sebaliknya, semakin tidak efektif komunikasi yang berlangsung antaranggota masyarakat, semakin lambat dan sulit integrasi sosial tercapai.
Pengaruh diferensiasi dan stratifikasi sosial
Secara umum, diferensiasi dan stratifikasi sosial memberikan pengaruh positif dan negatif kepada masyarakat. Pengaruh positifnya, diferensiasi dan stratifikasi sosial dapat mendorong terjadinya integrasi sosial sedangkan pengaruh negatifnya adalah terjadinya disintegrasi sosial. Deferensiasi sosial dapat menimbulkan primordialisme, etnosentrisme, politik aliran, dan terjadinya proses konsolidasi.
Primordialisme
Salah satu konsekuensi dari adanya diferensiasi sosial adalah terjadinya primordialisme. Primordialisme merupakan pandangan atau paham yang menunjukkan sikap berpegang teguh pada hal-hal yang sejak semula melekat pada diri individu, seperti suku bangsa, ras, dan agama. Istilah primordialisme berasal dari kata bahasa Latin primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan. Dengan demikian, kata primordial(isme) dapat berarti ikatan-ikatan utama seseorang dalam kehidupan sosial, dengan hal-hal yang dibawanya sejak lahir seperti suku bangsa, ras, klen, asal usul kedaerahan, dan agama.
Primordialisme dalam masyarakat majemuk merupakan suatu hal yang hampir pasti selalu terjadi. Anda tentu sering mendengar atau melihat praktik-praktik primordialisme dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam sebuah perusahaan atau dalam organisasi sosial politik. Sebagai contoh, sebuah perusahaan atau organisasi yang dipimpin oleh seseorang dari suku bangsa tertentu menempatkan orang-orang yang berasal dari suku bangsa yang sama dengannya sebagai orang-orang kepercayaannya.
Primordialisme dapat terjadi karena faktor-faktor berikut.
1. Adanya sesuatu yang dianggap istimewa oleh individu dalam suatu kelompok atau perkumpulan sosial.
2. Adanya suatu sikap untuk mempertahankan keutuhan suatu kelompok atau kesatuan sosial dari ancaman luar.
3. Adanya nilai-nilai yang berkaitan dengan sistem keyakinan, seperti nilai keagamaan dan pandangan.
Primordialisme sebagai identitas sebuah golongan atau kelompok sosial merupakan faktor penting untuk memperkuat ikatan golongan atau kelompok yang bersangkutan, terutama dalam menghadapi ancaman dari luar. Namun seiring dengan itu, primordialisme juga dapat membangkitkan prasangka dan permusuhan terhadap golongan atau kelompok sosial lain. Hal ini tentu merupakan potensi konflik yang dapat mengganggu integrasi sosial.
Etnosentrisme
Primordialisme yang berlebihan juga akan menghasilkan sebuah pandangan subjektif yang disebut etnosentrisme atau fanatisme suku bangsa. Etnosentrisme adalah suatu sikap menilai kebudayaan masyarakat lain dengan menggunakan ukuran-ukuran yang berlaku di masyarakatnya. Karena yang dipakai adalah ukuran-ukuran masyarakatnya, maka orang akan selalu menganggap kebudayaannya memiliki nilai lebih tinggi daripada kebudayaan masyarakat lain.
Contoh sikap etnosentrisme pernah terjadi di Afrika Selatan pada masa diberlakukannya politik apartheid. Ketika itu, masyarakat beranggapan bahwa masyarakat berkulit putih lebih tinggi derajatnya daripada masyarakat berkulit hitam. Oleh karena itu, mereka memberlakukan politik diskriminatif berupa segregasi atau pemisahan antara masyarakat berkulit putih dan masyarakat berkulit hitam.
Dari uraian di atas terlihat bahwa etnosentrisme lebih bersifat subjektif, berdasarkan perasaan, dan bukan berdasarkan pemikiran yang rasional. Oleh karena itu, etnosentrisme dapat menghambat hubungan antarkebudayaan atau bangsa. Etnosentrisme juga dapat menghambat proses asimilasi dan integrasi sosial. Bahkan, etnosentrisme dapat menjadi kekuatan yang terpendam yang dapat mengakibatkan konflik antargolongan atau kebudayaan (konflik SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
Namun demikian, etnosentrisme juga memiliki segi-segi positif, yaitu:
1. dapat menjaga keutuhan dan kestabilan budaya;
2. dapat mempertinggi semangat patriotisme dan kesetiaan kepada bangsa; dan
3. dapat memperteguh rasa cinta terhadap kebudayaan atau bangsa.
Politik Aliran (Sektarian)
Pengaruh lain dari kemajemukan masyarakat adalah terjadinya politik sektarian atau politik aliran. Politik aliran merupakan keadaan di mana sebuah kelompok atau organisasi tertentu dikelilingi oleh sejumlah organisasi massa (ormas), baik formal maupun informal. Tali pengikat antara kelompok dan organisasi-organisasi massa ini adalah ideologi atau aliran (sekte) tertentu. Contoh, partai politik PKB yang dikelilingi oleh ormas-ormas NU.
Konsep politik aliran pertama kali dikemukakan oleh Clifford Geertz dalam kajian antropologinya di Mojokerto, Pare, Jawa Timur. Berdasarkan penelitiannya, Geertz mengatakan bahwa ada tiga golongan dalam masyarakat Jawa yang masing-masing memiliki aliran yang berbeda satu sama yang lain. Ketiga golongan tersebut adalah golongan santri, golongan prigayi, dan golongan abangan. Ketiga golongan itu memiliki aliran yang berbeda-beda sehingga hubungan mereka diwarnai oleh sikap saling curiga, terutama mengenai gagasan-gagasan yang mereka yakini.
Dalam bidang politik, Geertz berpendapat bahwa partai-partai politik di Indonesia saat itu ibarat sebuah aliran sungai yang diikuti oleh sejumlah organisasi massa yang bernaung di bawahnya. Partai politik tersebut mewakili sebuah ideologi. Geertz mengambil contoh partai NU yang diikuti oleh ormas-ormas seperti Gerakan Pemuda Anshor, PMII, dan Ikatan Pelajar NU (IPNU).
Berkembangnya politik aliran dalam suatu masyarakat majemuk bisa mengakibatkan jurang perbedaan antara kelompok-kelompok aliran yang berbeda itu. Kenyataan ini menjadi potensi terjadinya konflik antara kelompok-kelompok tersebut jika tidak diolah dengan baik.
Konsolidasi
Pengaruh lain dari diferensiasi dan stratifikasi sosial adalah proses konsolidasi. Konsolidasi berasal dari kata consolidation yang berarti penguatan atau pengukuhan. Secara politis, konsolidasi merupakan usaha untuk menata kembali atau memperkuat suatu himpunan atau organisasi yang dinilai terancam perpecahan. Usaha menata dan memperkuat himpunan itu dapat dilakukan dengan cara menetapkan kelompok lain sebagai musuh bersama. Dengan cara ini, akan timbul rasa senasib, seperjuangan, dan solidaritas yang dapat memperkuat ikatan antaranggota himpunan.
Konsolidasi memiliki dua sisi, yaitu sisi ke dalam dan sisi keluar. Konsolidasi dengan sisi ke dalam akan memperkuat solidaritas ke dalam suatu organisasi atau himpunan. Sebaliknya, konsolidasi dengan sisi ke luar dapat menimbulkan sikap antipati dan kecurigaan terhadap organisasi lain. Hal ini bisa dimengerti karena penggalangan kekuatan dan identitas suatu kelompok dapat menjadi ancaman bagi kelompok lain, terutama bagi kelompok yang berlawanan. Akibatnya, kelompok ini juga akan menggalang kekuatan dan identitas kelompoknya. Situasi itu dapat mendorong terjadinya konflik.
Primordialisme
Salah satu konsekuensi dari adanya diferensiasi sosial adalah terjadinya primordialisme. Primordialisme merupakan pandangan atau paham yang menunjukkan sikap berpegang teguh pada hal-hal yang sejak semula melekat pada diri individu, seperti suku bangsa, ras, dan agama. Istilah primordialisme berasal dari kata bahasa Latin primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan. Dengan demikian, kata primordial(isme) dapat berarti ikatan-ikatan utama seseorang dalam kehidupan sosial, dengan hal-hal yang dibawanya sejak lahir seperti suku bangsa, ras, klen, asal usul kedaerahan, dan agama.
Primordialisme dalam masyarakat majemuk merupakan suatu hal yang hampir pasti selalu terjadi. Anda tentu sering mendengar atau melihat praktik-praktik primordialisme dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam sebuah perusahaan atau dalam organisasi sosial politik. Sebagai contoh, sebuah perusahaan atau organisasi yang dipimpin oleh seseorang dari suku bangsa tertentu menempatkan orang-orang yang berasal dari suku bangsa yang sama dengannya sebagai orang-orang kepercayaannya.
Primordialisme dapat terjadi karena faktor-faktor berikut.
1. Adanya sesuatu yang dianggap istimewa oleh individu dalam suatu kelompok atau perkumpulan sosial.
2. Adanya suatu sikap untuk mempertahankan keutuhan suatu kelompok atau kesatuan sosial dari ancaman luar.
3. Adanya nilai-nilai yang berkaitan dengan sistem keyakinan, seperti nilai keagamaan dan pandangan.
Primordialisme sebagai identitas sebuah golongan atau kelompok sosial merupakan faktor penting untuk memperkuat ikatan golongan atau kelompok yang bersangkutan, terutama dalam menghadapi ancaman dari luar. Namun seiring dengan itu, primordialisme juga dapat membangkitkan prasangka dan permusuhan terhadap golongan atau kelompok sosial lain. Hal ini tentu merupakan potensi konflik yang dapat mengganggu integrasi sosial.
Etnosentrisme
Primordialisme yang berlebihan juga akan menghasilkan sebuah pandangan subjektif yang disebut etnosentrisme atau fanatisme suku bangsa. Etnosentrisme adalah suatu sikap menilai kebudayaan masyarakat lain dengan menggunakan ukuran-ukuran yang berlaku di masyarakatnya. Karena yang dipakai adalah ukuran-ukuran masyarakatnya, maka orang akan selalu menganggap kebudayaannya memiliki nilai lebih tinggi daripada kebudayaan masyarakat lain.
Contoh sikap etnosentrisme pernah terjadi di Afrika Selatan pada masa diberlakukannya politik apartheid. Ketika itu, masyarakat beranggapan bahwa masyarakat berkulit putih lebih tinggi derajatnya daripada masyarakat berkulit hitam. Oleh karena itu, mereka memberlakukan politik diskriminatif berupa segregasi atau pemisahan antara masyarakat berkulit putih dan masyarakat berkulit hitam.
Dari uraian di atas terlihat bahwa etnosentrisme lebih bersifat subjektif, berdasarkan perasaan, dan bukan berdasarkan pemikiran yang rasional. Oleh karena itu, etnosentrisme dapat menghambat hubungan antarkebudayaan atau bangsa. Etnosentrisme juga dapat menghambat proses asimilasi dan integrasi sosial. Bahkan, etnosentrisme dapat menjadi kekuatan yang terpendam yang dapat mengakibatkan konflik antargolongan atau kebudayaan (konflik SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
Namun demikian, etnosentrisme juga memiliki segi-segi positif, yaitu:
1. dapat menjaga keutuhan dan kestabilan budaya;
2. dapat mempertinggi semangat patriotisme dan kesetiaan kepada bangsa; dan
3. dapat memperteguh rasa cinta terhadap kebudayaan atau bangsa.
Politik Aliran (Sektarian)
Pengaruh lain dari kemajemukan masyarakat adalah terjadinya politik sektarian atau politik aliran. Politik aliran merupakan keadaan di mana sebuah kelompok atau organisasi tertentu dikelilingi oleh sejumlah organisasi massa (ormas), baik formal maupun informal. Tali pengikat antara kelompok dan organisasi-organisasi massa ini adalah ideologi atau aliran (sekte) tertentu. Contoh, partai politik PKB yang dikelilingi oleh ormas-ormas NU.
Konsep politik aliran pertama kali dikemukakan oleh Clifford Geertz dalam kajian antropologinya di Mojokerto, Pare, Jawa Timur. Berdasarkan penelitiannya, Geertz mengatakan bahwa ada tiga golongan dalam masyarakat Jawa yang masing-masing memiliki aliran yang berbeda satu sama yang lain. Ketiga golongan tersebut adalah golongan santri, golongan prigayi, dan golongan abangan. Ketiga golongan itu memiliki aliran yang berbeda-beda sehingga hubungan mereka diwarnai oleh sikap saling curiga, terutama mengenai gagasan-gagasan yang mereka yakini.
Dalam bidang politik, Geertz berpendapat bahwa partai-partai politik di Indonesia saat itu ibarat sebuah aliran sungai yang diikuti oleh sejumlah organisasi massa yang bernaung di bawahnya. Partai politik tersebut mewakili sebuah ideologi. Geertz mengambil contoh partai NU yang diikuti oleh ormas-ormas seperti Gerakan Pemuda Anshor, PMII, dan Ikatan Pelajar NU (IPNU).
Berkembangnya politik aliran dalam suatu masyarakat majemuk bisa mengakibatkan jurang perbedaan antara kelompok-kelompok aliran yang berbeda itu. Kenyataan ini menjadi potensi terjadinya konflik antara kelompok-kelompok tersebut jika tidak diolah dengan baik.
Konsolidasi
Pengaruh lain dari diferensiasi dan stratifikasi sosial adalah proses konsolidasi. Konsolidasi berasal dari kata consolidation yang berarti penguatan atau pengukuhan. Secara politis, konsolidasi merupakan usaha untuk menata kembali atau memperkuat suatu himpunan atau organisasi yang dinilai terancam perpecahan. Usaha menata dan memperkuat himpunan itu dapat dilakukan dengan cara menetapkan kelompok lain sebagai musuh bersama. Dengan cara ini, akan timbul rasa senasib, seperjuangan, dan solidaritas yang dapat memperkuat ikatan antaranggota himpunan.
Konsolidasi memiliki dua sisi, yaitu sisi ke dalam dan sisi keluar. Konsolidasi dengan sisi ke dalam akan memperkuat solidaritas ke dalam suatu organisasi atau himpunan. Sebaliknya, konsolidasi dengan sisi ke luar dapat menimbulkan sikap antipati dan kecurigaan terhadap organisasi lain. Hal ini bisa dimengerti karena penggalangan kekuatan dan identitas suatu kelompok dapat menjadi ancaman bagi kelompok lain, terutama bagi kelompok yang berlawanan. Akibatnya, kelompok ini juga akan menggalang kekuatan dan identitas kelompoknya. Situasi itu dapat mendorong terjadinya konflik.
Konflik dan Kekerasan
Sebagaimana telah kita ketahui, sebuah konflik selalu disertai dengan luapan-luapan perasaan tidak suka, benci, dan amarah. Dari luapan perasaan-perasaan tersebut, timbul keinginan untuk menghancurkan lawan atau pihak lain. Apabila keinginan tersebut diwujudkan dalam sebuah tindakan "menghancurkan lawan" maka pada saat itulah terjadi kekerasan. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa kekerasan adalah bentuk lanjutan dari sebuah konflik sosial.
Dalam KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, kekerasan identik dengan tindakan melukai orang lain dengan sengaja, membunuh, atau memperkosa. Kekerasan seperti itu sering disebut sebagai kekerasan langsung (direct violence). Kekerasan juga menyangkut tindakan-tindakan seperti mengekang, mengurangi, atau meniadakan hak seseorang, serta mengintimidasi, memfitnah, dan meneror orang lain. Bahkan, bagi kaum humanis, tindakan membiarkan atau menjerumuskan seseorang dalam sebuah kekerasan juga merupakan bentuk kekerasan. Sebagai contoh, tindakan membiarkan seorang pencuri dihakimi massa, bagi kaum humanis, adalah sebuah bentuk kekerasan. Kekerasan seperti itu digolongkan sebagai kekerasan tidak langsung (indirect violence).
Secara sosiologis, kekerasan umumnya terjadi saat individu atau kelompok yang berinteraksi mengabaikan norma dan nilai-nilai sosial dalam mencapai tujuan masing-masing. Dengan diabaikannya norma dan nilai sosial itu, timbullah tindakan-tindakan irasional yang cenderung merugikan pihak lain, tetapi menguntungkan diri sendiri. Akibatnya, terjadi konflik yang akan bermuara pada kekerasan.
N.J. Smelser meneliti kekerasan yang bersifat massal atau kerusuhan. Menurutnya, ada lima tahap dalam kerusuhan massal. Kelima tahap itu berlangsung secara kronologis (berurutan) dan tidak dapat terjadi satu atau dua tahap saja. Berikut ini kelima tahap tersebut.
1. Situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kerusuhan yang disebabkan oleh struktur sosial tertentu, seperti tidak adanya sistem tanggung jawab yang jelas dalam masyarakat, atau tidak adanya saluran atau sarana komunikasi untuk mengungkapkan kejengkelan atau ketidakpuasan.
2. Tekanan sosial, yaitu suatu kondisi saat sejumlah besar anggota masyarakat merasa bahwa banyak nilai dan norma yang sudah dilanggar. Tekanan sosial seperti ini tidak cukup untuk menimbulkan kerusuhan atau kekerasan, tetapi dapat menjadi pendorong kemungkinan terjadinya kekerasan.
3. Berkembangnya perasaan kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu, misalnya terhadap pemerintah dan kelompok ras atau kelompok agama tertentu. Sasaran kebencian itu berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa tertentu yang mengawali atau memicu suatu kerusuhan, seperti sindiran dan kata-kata kasar.
4. Tahapan berikutnya adalah mobilisasi untuk beraksi, yaitu tindakan nyata berupa pengorganisasi diri untuk bertindak. Tahap ini merupakan tahap akhir dari akumulasi yang memungkinkan pecahnya kekerasan. Sasaran aksi ini dapat ditujukan pada objek yang langsung memicu kekerasan atau pada objek lain yang tidak ada hubungannya dengan pihak lawan, seperti pemerintah dan polisi.
5. Kontrol sosial yaitu tindakan pihak ketiga seperti aparat keamanan untuk mengendalikan, menghambat, dan mengakhiri kekerasan atau kerusuhan.
Dalam KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, kekerasan identik dengan tindakan melukai orang lain dengan sengaja, membunuh, atau memperkosa. Kekerasan seperti itu sering disebut sebagai kekerasan langsung (direct violence). Kekerasan juga menyangkut tindakan-tindakan seperti mengekang, mengurangi, atau meniadakan hak seseorang, serta mengintimidasi, memfitnah, dan meneror orang lain. Bahkan, bagi kaum humanis, tindakan membiarkan atau menjerumuskan seseorang dalam sebuah kekerasan juga merupakan bentuk kekerasan. Sebagai contoh, tindakan membiarkan seorang pencuri dihakimi massa, bagi kaum humanis, adalah sebuah bentuk kekerasan. Kekerasan seperti itu digolongkan sebagai kekerasan tidak langsung (indirect violence).
Secara sosiologis, kekerasan umumnya terjadi saat individu atau kelompok yang berinteraksi mengabaikan norma dan nilai-nilai sosial dalam mencapai tujuan masing-masing. Dengan diabaikannya norma dan nilai sosial itu, timbullah tindakan-tindakan irasional yang cenderung merugikan pihak lain, tetapi menguntungkan diri sendiri. Akibatnya, terjadi konflik yang akan bermuara pada kekerasan.
N.J. Smelser meneliti kekerasan yang bersifat massal atau kerusuhan. Menurutnya, ada lima tahap dalam kerusuhan massal. Kelima tahap itu berlangsung secara kronologis (berurutan) dan tidak dapat terjadi satu atau dua tahap saja. Berikut ini kelima tahap tersebut.
1. Situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kerusuhan yang disebabkan oleh struktur sosial tertentu, seperti tidak adanya sistem tanggung jawab yang jelas dalam masyarakat, atau tidak adanya saluran atau sarana komunikasi untuk mengungkapkan kejengkelan atau ketidakpuasan.
2. Tekanan sosial, yaitu suatu kondisi saat sejumlah besar anggota masyarakat merasa bahwa banyak nilai dan norma yang sudah dilanggar. Tekanan sosial seperti ini tidak cukup untuk menimbulkan kerusuhan atau kekerasan, tetapi dapat menjadi pendorong kemungkinan terjadinya kekerasan.
3. Berkembangnya perasaan kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu, misalnya terhadap pemerintah dan kelompok ras atau kelompok agama tertentu. Sasaran kebencian itu berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa tertentu yang mengawali atau memicu suatu kerusuhan, seperti sindiran dan kata-kata kasar.
4. Tahapan berikutnya adalah mobilisasi untuk beraksi, yaitu tindakan nyata berupa pengorganisasi diri untuk bertindak. Tahap ini merupakan tahap akhir dari akumulasi yang memungkinkan pecahnya kekerasan. Sasaran aksi ini dapat ditujukan pada objek yang langsung memicu kekerasan atau pada objek lain yang tidak ada hubungannya dengan pihak lawan, seperti pemerintah dan polisi.
5. Kontrol sosial yaitu tindakan pihak ketiga seperti aparat keamanan untuk mengendalikan, menghambat, dan mengakhiri kekerasan atau kerusuhan.
Karakteristik Kebudayaan
Secara umum, kebudayaan-kebudayaan masyarakat di dunia memiliki beberapa karakteristik umum. Di antaranya adalah bahwa kebudayaan merupakan milik bersama, merupakan hasil belajar, didasarkan pada lambang, dan terintegrasi.
Kebudayaan adalah Milik Bersama
Kebudayaan adalah milik bersama, artinya bahwa unsur-unsur yang tercakup dalam kebudayaan, seperti ide, nilai, dan pola perilaku, dijalankan dan dipelihara bersama-sama oleh seluruh anggota masyarakat. Dengan demikian, pandangan atau tindakan-tindakan tertentu yang hanya dilakukan satu orang bukanlah sebuah pola kebudayaan, melainkan hanyalah sebuah kebiasaan pribadi. Contohnya, kebiasaan seseorang yang makan nasi dengan dicampur pisang bukanlah suatu kebudayaan.
Kebudayaan dihayati dan dijalankan bersama oleh seluruh anggota masyarakat pendukungnya. Oleh karena itulah masyarakat akan mudah memahami tindakan individu dalam kelompoknya. Selain itu, karena memiliki kebudayaan yang sama, anggota masyarakat yang satu dapat meramalkan atau memperkirakan perbuatan anggota lainnya dalam situasi tertentu di dalam kelompoknya, lalu mengambil tindakan yang sesuai.
Kebudayaan Merupakan Hasil Belajar
Semua unsur kebudayaan adalah hasil belajar dan bukan warisan biologis (dibawa sejak lahir). Dengan demikian, kebudayaan suatu masyarakat dapat berbeda dengan kebudayaan dari masyarakat lainnya. Contoh, orang Indonesia makan dengan menggunakan sendok dan orang Cina makan dengan menggunakan sumpit. Kedua pola perilaku ini tidak dibawa seseorang sejak ia lahir, tetapi merupakan hasil belajar dari pola perilaku generasi sebelumnya.
Seseorang mempelajari kebudayaan dengan cara ikut serta menjadi besar di dalam kebudayaan tersebut. Ralph Linton mengatakan bahwa kebudayaan adalah warisan sosial umat manusia. Artinya, kebudayaan diwariskan melalui hubungan-hubungan sosial yang terus-menerus. Proses penerusan kebudayaan dari suatu generasi ke generasi yang lainnya disebut enkulturasi atau pembudayaan.
Kebudayaan Didasarkan pada Lambang
Seorang ahli antropologi, Leslie White mengemukakan bahwa semua perilaku manusia dimulai dengan penggunaan lambang-lambang tertentu. Sebagaimana kita ketahui kekuatan dan ketaatan individu atau kelompok dapat dibangkitkan dengan adanya lambang-lambang, seperti lambang keagamaan, seni, politik, dan ekonomi.
Aspek simbolis yang terpenting dari gambar kebudayaan adalah bahasa. Bahasa telah berhasil menggantikan objek gambar dengan lambang berupa bunyi-bunyian yang memilih makna yang berbeda-beda. Stanley Salthe menegaskan bahwa bahasa (simbolis) adalah fundamen atau dasar tempat kebudayaan manusia dibangun. Unsur-unsur kebudayaan, seperti struktur politik, agama, kesenian, organisasi ekonomi, tidak mungkin ada tanpa lambang-lambang. Dengan menggunakan bahasa itulah manusia dapat meneruskan kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi yang lain.
Integrasi Kebudayaan
Sebagaimana telah kita pelajari sebelumnya bahwa kebudayaan itu dapat diuraikan menjadi sejumlah bagian (unsur) yang berdiri sendiri-sendiri. Tetapi sebenarnya, kebudayaan memiliki hubungan satu dengan yang lain. Jika seseorang ingin menyelidiki salah satu aspek atau unsur kebudayaan, ia akan selalu merasa perlu untuk juga menyelidiki aspek atau unsur-unsur lainnya. Tendensi semua aspek atau unsur kebudayaan untuk berfungsi sebagai kesatuan yang saling berhubungan disebut integrasi. Contoh, jika kita membicarakan satu unsur kebudayaan, yakni sistem bercocok tanam, mau tidak mau kita akan mengaitkan konsep bercocok tanam tersebut dengan sistem kepercayaan, perlengkapan hidup, teknologi, dan sistem nilai.
Dari uraian di atas dapatlah kita simpulkan bahwa sebagai sebuah proses yang terintegrasi, perubahan pada salah satu unsur kebudayaan dapat mempengaruhi unsur kebudayaan yang lainnya. Sebagai contoh, penciptaan traktor sebagai pengganti kerbau pembajak dapat menyebabkan perubahan pada aspek sistem produksi dan kekerabatan. Misalnya, tidak digunakannya lagi tenaga manusia sebagai penarik kerbau.
Kebudayaan adalah Milik Bersama
Kebudayaan adalah milik bersama, artinya bahwa unsur-unsur yang tercakup dalam kebudayaan, seperti ide, nilai, dan pola perilaku, dijalankan dan dipelihara bersama-sama oleh seluruh anggota masyarakat. Dengan demikian, pandangan atau tindakan-tindakan tertentu yang hanya dilakukan satu orang bukanlah sebuah pola kebudayaan, melainkan hanyalah sebuah kebiasaan pribadi. Contohnya, kebiasaan seseorang yang makan nasi dengan dicampur pisang bukanlah suatu kebudayaan.
Kebudayaan dihayati dan dijalankan bersama oleh seluruh anggota masyarakat pendukungnya. Oleh karena itulah masyarakat akan mudah memahami tindakan individu dalam kelompoknya. Selain itu, karena memiliki kebudayaan yang sama, anggota masyarakat yang satu dapat meramalkan atau memperkirakan perbuatan anggota lainnya dalam situasi tertentu di dalam kelompoknya, lalu mengambil tindakan yang sesuai.
Kebudayaan Merupakan Hasil Belajar
Semua unsur kebudayaan adalah hasil belajar dan bukan warisan biologis (dibawa sejak lahir). Dengan demikian, kebudayaan suatu masyarakat dapat berbeda dengan kebudayaan dari masyarakat lainnya. Contoh, orang Indonesia makan dengan menggunakan sendok dan orang Cina makan dengan menggunakan sumpit. Kedua pola perilaku ini tidak dibawa seseorang sejak ia lahir, tetapi merupakan hasil belajar dari pola perilaku generasi sebelumnya.
Seseorang mempelajari kebudayaan dengan cara ikut serta menjadi besar di dalam kebudayaan tersebut. Ralph Linton mengatakan bahwa kebudayaan adalah warisan sosial umat manusia. Artinya, kebudayaan diwariskan melalui hubungan-hubungan sosial yang terus-menerus. Proses penerusan kebudayaan dari suatu generasi ke generasi yang lainnya disebut enkulturasi atau pembudayaan.
Kebudayaan Didasarkan pada Lambang
Seorang ahli antropologi, Leslie White mengemukakan bahwa semua perilaku manusia dimulai dengan penggunaan lambang-lambang tertentu. Sebagaimana kita ketahui kekuatan dan ketaatan individu atau kelompok dapat dibangkitkan dengan adanya lambang-lambang, seperti lambang keagamaan, seni, politik, dan ekonomi.
Aspek simbolis yang terpenting dari gambar kebudayaan adalah bahasa. Bahasa telah berhasil menggantikan objek gambar dengan lambang berupa bunyi-bunyian yang memilih makna yang berbeda-beda. Stanley Salthe menegaskan bahwa bahasa (simbolis) adalah fundamen atau dasar tempat kebudayaan manusia dibangun. Unsur-unsur kebudayaan, seperti struktur politik, agama, kesenian, organisasi ekonomi, tidak mungkin ada tanpa lambang-lambang. Dengan menggunakan bahasa itulah manusia dapat meneruskan kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi yang lain.
Integrasi Kebudayaan
Sebagaimana telah kita pelajari sebelumnya bahwa kebudayaan itu dapat diuraikan menjadi sejumlah bagian (unsur) yang berdiri sendiri-sendiri. Tetapi sebenarnya, kebudayaan memiliki hubungan satu dengan yang lain. Jika seseorang ingin menyelidiki salah satu aspek atau unsur kebudayaan, ia akan selalu merasa perlu untuk juga menyelidiki aspek atau unsur-unsur lainnya. Tendensi semua aspek atau unsur kebudayaan untuk berfungsi sebagai kesatuan yang saling berhubungan disebut integrasi. Contoh, jika kita membicarakan satu unsur kebudayaan, yakni sistem bercocok tanam, mau tidak mau kita akan mengaitkan konsep bercocok tanam tersebut dengan sistem kepercayaan, perlengkapan hidup, teknologi, dan sistem nilai.
Dari uraian di atas dapatlah kita simpulkan bahwa sebagai sebuah proses yang terintegrasi, perubahan pada salah satu unsur kebudayaan dapat mempengaruhi unsur kebudayaan yang lainnya. Sebagai contoh, penciptaan traktor sebagai pengganti kerbau pembajak dapat menyebabkan perubahan pada aspek sistem produksi dan kekerabatan. Misalnya, tidak digunakannya lagi tenaga manusia sebagai penarik kerbau.
Fungsi Kebudayaan
Manusia dan masyarakat selalu menghadapi kekuatan-kekuatan yang tidak selalu menguntungkan dirinya. Kekuatan-kekuatan yang tidak menguntungkan tersebut bisa berasal dari luar dirinya misalnya kekuatan alam. Selain itu, manusia dan masyarakat juga membutuhkan kepuasan, baik kepuasan spiritual maupun kepuasan material. Sebagian besar kebutuhan manusia dan masyarakat tersebut dapat dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber dari masyarakat itu sendiri. Berikut ini adalah beberapa fungsi kebudayaan bagi masyarakat.
1. Hasil karena manusia melahirkan teknologi atau kebudayaan kebendaan. Teknologi memiliki sedikitnya dua kegunaan, yakni melindungi masyarakat dari ancaman lingkungannya dan memberikan kemungkinan kepada masyarakat untuk memanfaatkan alam. Coba kita perhatikan masyarakat kita! Untuk menghadapi ancaman kedinginan dan kehujanan, manusia menciptakan rumah, pakaian, payung, mantel, dan sebagainya. Demikian juga untuk memenuhi kebutuhannya akan bahan makanan, manusia menciptakan teknologi pertanian seperti irigasi, pupuk, traktor pembibitan, dan pencangkokan.
2. Karsa masyarakat yang merupakan perwujudan norma dan nilai-nilai sosial dapat menghasilkan tata tertib dalam pergaulan kemasyarakatan. Karsa merupakan daya upaya manusia untuk melindungi diri terhadap kekuatan-kekuatan lain yang ada di dalam masyarakat. Untuk menghadapi kekuatan-kekuatan itu, masyarakat menciptakan kaidah-kaidah yang pada hakikatnya merupakan petunjuk atau patokan tentang bagaimana manusia harus bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya ketika berhubungan satu dengan lainnya. Kaidah yang timbul dari masyarakat ini dapat berupa adat istiadat (custom) atau sejumlah peraturan (hukum).
3. Di dalam kebudayaan juga terdapat pola-pola perilaku (patterns of behavior) yang merupakan cara-cara masyarakat untuk bertindak atau berkelakuan yang sama dan harus diikuti oleh semua anggota masyarakat tersebut. Setiap tindakan manusia dalam masyarakat selalu mengikuti pola-pola perilaku masyarakat tadi. Khususnya dalam mengatur hubungan antarmanusia, kebudayaan dinamakan pula struktur normatif atau designs for living (garis-garis atau petunjuk dalam hidup). Artinya, kebudayaan adalah suatu garis-garis pokok tentang perilaku yang menetapkan peraturan-peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, apa yang seharusnya dilakukan, apa yang dilarang, dan sebagainya.
1. Hasil karena manusia melahirkan teknologi atau kebudayaan kebendaan. Teknologi memiliki sedikitnya dua kegunaan, yakni melindungi masyarakat dari ancaman lingkungannya dan memberikan kemungkinan kepada masyarakat untuk memanfaatkan alam. Coba kita perhatikan masyarakat kita! Untuk menghadapi ancaman kedinginan dan kehujanan, manusia menciptakan rumah, pakaian, payung, mantel, dan sebagainya. Demikian juga untuk memenuhi kebutuhannya akan bahan makanan, manusia menciptakan teknologi pertanian seperti irigasi, pupuk, traktor pembibitan, dan pencangkokan.
2. Karsa masyarakat yang merupakan perwujudan norma dan nilai-nilai sosial dapat menghasilkan tata tertib dalam pergaulan kemasyarakatan. Karsa merupakan daya upaya manusia untuk melindungi diri terhadap kekuatan-kekuatan lain yang ada di dalam masyarakat. Untuk menghadapi kekuatan-kekuatan itu, masyarakat menciptakan kaidah-kaidah yang pada hakikatnya merupakan petunjuk atau patokan tentang bagaimana manusia harus bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya ketika berhubungan satu dengan lainnya. Kaidah yang timbul dari masyarakat ini dapat berupa adat istiadat (custom) atau sejumlah peraturan (hukum).
3. Di dalam kebudayaan juga terdapat pola-pola perilaku (patterns of behavior) yang merupakan cara-cara masyarakat untuk bertindak atau berkelakuan yang sama dan harus diikuti oleh semua anggota masyarakat tersebut. Setiap tindakan manusia dalam masyarakat selalu mengikuti pola-pola perilaku masyarakat tadi. Khususnya dalam mengatur hubungan antarmanusia, kebudayaan dinamakan pula struktur normatif atau designs for living (garis-garis atau petunjuk dalam hidup). Artinya, kebudayaan adalah suatu garis-garis pokok tentang perilaku yang menetapkan peraturan-peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, apa yang seharusnya dilakukan, apa yang dilarang, dan sebagainya.
Faktor-Faktor Pendorong Integrasi Sosial
Integrasi sosial, sebagai sebuah proses sosial, dapat dicapai karena adanya berbagai faktor internal dan eksternal yang mendorong proses tersebut. Sebagaimana dalam proses asimilasi, integrasi sosial dapat dicapai karena adanya faktor-faktor berikut.
1. Toleransi terhadap kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda. Toleransi yang mendorong terjadinya komunikasi yang efektif antara kebudayaan yang berbeda tersebut akan mendorong terciptanya integrasi di antara mereka.
2. Kesempatan yang seimbang dalam ekonomi bagi berbagai golongan masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda. Hal itu dapat mempercepat proses integrasi sosial. Dalam sistem ekonomi yang demikian, setiap individu mendapat kesempatan yang sama untuk mencapai kedudukan tertentu atas dasar kemampuan dan jasa-jasanya.
3. Sikap saling menghargai orang lain dengan kebudayaannya. Jika tiap pihak mengakui kelemahan dan kelebihan kebudayaan masing-masing, tiap anggota masyarakat pendukung suatu kebudayaan akan mudah bersatu.
4. Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat. Hal itu dapat diwujudkan jika penguasa memberikan kesempatan yang sama kepada golongan minoritas untuk memperoleh hak-hak yang sama dengan golongan mayoritas.
5. Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan. Pengetahuan tentang persamaan-persamaan unsur kebudayaan yang berlainan akan mendekatkan tiap anggota masyarakat. Hal itu akan menghilangkan prasangka-prasangka yang semula mungkin ada di antara pendukung kebudayaan-kebudayaan tersebut.
6. Perkawinan campuran (amalgamation). Perkawinan campur antara dua pendukung kebudayaan yang berbeda dapat mendorong terciptanya integrasi sosial. Dalam sistem sosial masyarakat Indonesia yang berpandangan bahwa perkawinan merupakan penyatuan dua keluarga, integrasi sosial sangat mungkin terjadi.
7. Adanya musuh bersama dari luar. Adanya musuh bersama dari luar cenderung memperkuat kesatuan masyarakat atau kelompok yang mengalami ancaman musuh tersebut. Dalam keadaan demikian, berbagai kelompok yang berbeda dalam masyarakat tersebut akan melepaskan atribut perbedaannya dan bersama-sama menghadapi musuh mereka.
1. Toleransi terhadap kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda. Toleransi yang mendorong terjadinya komunikasi yang efektif antara kebudayaan yang berbeda tersebut akan mendorong terciptanya integrasi di antara mereka.
2. Kesempatan yang seimbang dalam ekonomi bagi berbagai golongan masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda. Hal itu dapat mempercepat proses integrasi sosial. Dalam sistem ekonomi yang demikian, setiap individu mendapat kesempatan yang sama untuk mencapai kedudukan tertentu atas dasar kemampuan dan jasa-jasanya.
3. Sikap saling menghargai orang lain dengan kebudayaannya. Jika tiap pihak mengakui kelemahan dan kelebihan kebudayaan masing-masing, tiap anggota masyarakat pendukung suatu kebudayaan akan mudah bersatu.
4. Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat. Hal itu dapat diwujudkan jika penguasa memberikan kesempatan yang sama kepada golongan minoritas untuk memperoleh hak-hak yang sama dengan golongan mayoritas.
5. Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan. Pengetahuan tentang persamaan-persamaan unsur kebudayaan yang berlainan akan mendekatkan tiap anggota masyarakat. Hal itu akan menghilangkan prasangka-prasangka yang semula mungkin ada di antara pendukung kebudayaan-kebudayaan tersebut.
6. Perkawinan campuran (amalgamation). Perkawinan campur antara dua pendukung kebudayaan yang berbeda dapat mendorong terciptanya integrasi sosial. Dalam sistem sosial masyarakat Indonesia yang berpandangan bahwa perkawinan merupakan penyatuan dua keluarga, integrasi sosial sangat mungkin terjadi.
7. Adanya musuh bersama dari luar. Adanya musuh bersama dari luar cenderung memperkuat kesatuan masyarakat atau kelompok yang mengalami ancaman musuh tersebut. Dalam keadaan demikian, berbagai kelompok yang berbeda dalam masyarakat tersebut akan melepaskan atribut perbedaannya dan bersama-sama menghadapi musuh mereka.
Faktor-Faktor Penyebab Konflik
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, konflik merupakan bagian dari sebuah proses interaksi sosial manusia untuk mencapai tujuan atau harapannya. Sebagai proses sosial, konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu yang terlibat dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut meliputi perbedaan fisik, kepentingan, kebutuhan, pengetahuan, adat-istiadat, dan keyakinan. Dengan ciri-ciri individual yang terdapat dalam interaksi sosial, konflik menjadi bagian yang akan selalu ada (inherent) dalam dinamika sosial suatu masyarakat. Hampir tidak pernah kita temukan suatu masyarakat tanpa konflik, baik antaranggotanya maupun antar kelompok masyarakat.
Pada prinsipnya, suatu konflik dapat terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang terhalang upayanya dalam mencapai tujuan. Hal itu dapat disebabkan perbedaan pandangan terhadap tujuan itu sendiri, norma-norma sosial (yang ingin diubah), maupun terhadap tindakan dalam masyarakat. Apabila sanksi terhadap perbedaan tersebut tidak tegas (tidak berwibawa), dengan sendirinya, langkah pertama menuju konflik bisa terjadi. Situasi itu disebut disorganisasi. Disorganisasi terjadi apabila perbedaan antara tujuan individu atau kelompok dan pelaksanaannya terlalu besar.
Soerjono Soekanto mengemukakan empat faktor yang dapat menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat, yakni perbedaan antarindividu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, dan perubahan sosial.
Perbedaan Antarindividu
Setiap manusia tentu memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Coba perhatikan diri Anda sendiri dan teman-teman sekelas! Tentu Anda akan menemukan adanya perbedaan pendirian dan perasaan antara diri Anda dengan teman-teman Anda atas sesuatu hal. Perbedaan pendirian tersebut dapat menjadi faktor penyebab konflik. Sebagai contoh, Anda dan beberapa teman memiliki pendirian bahwa ketika belajar, suasana kelas haruslah tenang. Sementara itu, teman-teman Anda yang lain berpendirian bahwa belajar sambil bernyanyi adalah sesuatu yang menyenangkan dan membantu. Perbedaan pandangan seperti itu tidak jarang menimbulkan rasa amarah. Hal itu dapat berlanjut pada perasaan benci hingga dapat timbul usaha untuk saling menghancurkan.
Perbedaan Kebudayaan
Anda tentu sudah tahu bahwa kepribadian seseorang sedikit banyak dibentuk oleh kelompoknya. Secara sadar atau tidak, seseorang akan terpengaruh oleh pola-pola pemikiran dan pendirian dari kelompoknya. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan dalam sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kesopanan tentu akan terpengaruh untuk bersikap sopan ketika bertemu atau berbincang dengan orang lain. Sebaliknya, anak yang dibesarkan dalam sebuah masyarakat yang tidak mempedulikan nilai kesopanan tentu akan cenderung mengabaikan kesopanan ketika bertemu atau berbincang dengan orang lain. Dari contoh ini terlihat bahwa perbedaan kepribadian seseorang tergantung dari pola-pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan dan perkembangan kepribadian orang tersebut. Perbedaan kepribadian individu akibat pola kebudayaan yang berbeda seperti itu tidak jarang menjadi penyebab terjadinya konflik antarkelompok masyarakat. Interaksi sosial antarindividu atau antar kelompok dengan pola kebudayaan yang cenderung berlawanan dapat menimbulkan rasa marah dan benci sehingga berakibat konflik.
Perbedaan Kepentingan
Perbedaan kepentingan antarindividu maupun kelompok merupakan faktor lain penyebab konflik atau pertentangan. Setiap individu tentu memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda dalam melihat atau mengerjakan sesuatu. Demikian pula dengan kelompok. Setiap kelompok tentu memiliki kepentingan berbeda-beda dalam melihat atau mengerjakan sesuatu. Kepentingan itu dapat menyangkut kepentingan politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Sebagai contoh, hubungan antara pemerintah daerah (Pemda) dan pengusaha tertentu. Ada pejabat Pemda yang melihat hubungan itu sebagai cara untuk menarik investasi pengusaha dalam pembangunan daerah. Ada juga sebagian pejabat yang melihat hubungan itu sebagai kesempatan untuk mengisi pundi-pundi keuangan pribadinya dengan cara berkolusi dengan pengusaha tersebut. Sementara itu, pihak pengusaha melihat hubungan itu sebagai kesempatan untuk mendapatkan proyek pemerintah dan menambah keuntungan bisnisnya.
Berikut ini contoh lain dalam hal pemanfaatan hutan. Para petani merambah dan menebang hutan sebagai bagian dari kegiatan ekonomi yang diwarisi turun-temurun, yakni untuk membuat kebun atau ladang. Para pengusaha hutan melihat hutan sebagai ladang bisnis; kayunya ditebang, lalu dijual untuk mendapatkan uang, sekaligus untuk membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Sementara itu, bagi pecinta lingkungan, hutan adalah paru-paru dunia yang dapat menyelamatkan dunia dari bocornya lapisan ozon, dari terjadinya banjir, dan sebagainya. Dengan demikian, hutan tidak boleh ditebang dan harus dilestarikan. Perbedaan kepentingan antarindividu atau antarkelompok seperti contoh di atas dapat menimbulkan konflik sosial di masyarakat.
Perubahan Sosial
Masyarakat merupakan sekelompok manusia yang terus berubah seiring dengan berkembangnya kebutuhan dan pengetahuannya. Coba perhatikan masyarakat kita saat ini dan bandingkan dengan keadaan sebelumnya sekitar 10 atau 20 tahun yang lalu. Tentu sangat berbeda. Perubahan-perubahan tersebut tentu juga mempengaruhi cara pandang sebagian anggota masyarakat terhadap nilai, norma, dan pola perilaku masyarakat. Apalagi jika perubahan itu berlangsung dengan cepat dan meluas. Muncullah perilaku-perilaku lain yang dianggap oleh sebagian anggota masyarakat lain sebagai perilaku berlawanan, aneh, dan bertentangan dengan kebudayaan masyarakatnya. Situasi seperti itu dapat memunculkan konflik atau pertentangan.
Sebagai contoh, konflik antara kaum muda dan kaum tua. Biasanya, kaum muda cenderung ingin merombak pola perilaku atau tradisi masyarakatnya, sedangkan kaum tua ingin tetap mempertahankan pola perilaku dan tradisi nenek moyangnya. Hal yang sama dapat kita saksikan dari proses perubahan masyarakat pedesaan di Indonesia beberapa dekade belakangan ini. Masyarakat pedesaan Indonesia saat ini sedang mengalami proses perubahan dari masyarakat yang tradisional ke masyarakat industri. Nilai-nilai tradisional seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan dengan jenis pekerjaannya. Demikian juga dengan nilai-nilai. Nilai kebersamaan berubah menjadi individualis, dan nilai pemanfaatan waktu yang awalnya berorientasi pada fungsi sosial berubah menjadi fungsi materialis, yaitu "waktu adalah uang". Perubahan seperti itu tidak jarang menimbulkan konflik-konflik di tengah masyarakat. Konflik tersebut muncul karena ada upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan. Perubahan itu dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.
Pada prinsipnya, suatu konflik dapat terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang terhalang upayanya dalam mencapai tujuan. Hal itu dapat disebabkan perbedaan pandangan terhadap tujuan itu sendiri, norma-norma sosial (yang ingin diubah), maupun terhadap tindakan dalam masyarakat. Apabila sanksi terhadap perbedaan tersebut tidak tegas (tidak berwibawa), dengan sendirinya, langkah pertama menuju konflik bisa terjadi. Situasi itu disebut disorganisasi. Disorganisasi terjadi apabila perbedaan antara tujuan individu atau kelompok dan pelaksanaannya terlalu besar.
Soerjono Soekanto mengemukakan empat faktor yang dapat menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat, yakni perbedaan antarindividu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, dan perubahan sosial.
Perbedaan Antarindividu
Setiap manusia tentu memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Coba perhatikan diri Anda sendiri dan teman-teman sekelas! Tentu Anda akan menemukan adanya perbedaan pendirian dan perasaan antara diri Anda dengan teman-teman Anda atas sesuatu hal. Perbedaan pendirian tersebut dapat menjadi faktor penyebab konflik. Sebagai contoh, Anda dan beberapa teman memiliki pendirian bahwa ketika belajar, suasana kelas haruslah tenang. Sementara itu, teman-teman Anda yang lain berpendirian bahwa belajar sambil bernyanyi adalah sesuatu yang menyenangkan dan membantu. Perbedaan pandangan seperti itu tidak jarang menimbulkan rasa amarah. Hal itu dapat berlanjut pada perasaan benci hingga dapat timbul usaha untuk saling menghancurkan.
Perbedaan Kebudayaan
Anda tentu sudah tahu bahwa kepribadian seseorang sedikit banyak dibentuk oleh kelompoknya. Secara sadar atau tidak, seseorang akan terpengaruh oleh pola-pola pemikiran dan pendirian dari kelompoknya. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan dalam sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kesopanan tentu akan terpengaruh untuk bersikap sopan ketika bertemu atau berbincang dengan orang lain. Sebaliknya, anak yang dibesarkan dalam sebuah masyarakat yang tidak mempedulikan nilai kesopanan tentu akan cenderung mengabaikan kesopanan ketika bertemu atau berbincang dengan orang lain. Dari contoh ini terlihat bahwa perbedaan kepribadian seseorang tergantung dari pola-pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan dan perkembangan kepribadian orang tersebut. Perbedaan kepribadian individu akibat pola kebudayaan yang berbeda seperti itu tidak jarang menjadi penyebab terjadinya konflik antarkelompok masyarakat. Interaksi sosial antarindividu atau antar kelompok dengan pola kebudayaan yang cenderung berlawanan dapat menimbulkan rasa marah dan benci sehingga berakibat konflik.
Perbedaan Kepentingan
Perbedaan kepentingan antarindividu maupun kelompok merupakan faktor lain penyebab konflik atau pertentangan. Setiap individu tentu memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda dalam melihat atau mengerjakan sesuatu. Demikian pula dengan kelompok. Setiap kelompok tentu memiliki kepentingan berbeda-beda dalam melihat atau mengerjakan sesuatu. Kepentingan itu dapat menyangkut kepentingan politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Sebagai contoh, hubungan antara pemerintah daerah (Pemda) dan pengusaha tertentu. Ada pejabat Pemda yang melihat hubungan itu sebagai cara untuk menarik investasi pengusaha dalam pembangunan daerah. Ada juga sebagian pejabat yang melihat hubungan itu sebagai kesempatan untuk mengisi pundi-pundi keuangan pribadinya dengan cara berkolusi dengan pengusaha tersebut. Sementara itu, pihak pengusaha melihat hubungan itu sebagai kesempatan untuk mendapatkan proyek pemerintah dan menambah keuntungan bisnisnya.
Berikut ini contoh lain dalam hal pemanfaatan hutan. Para petani merambah dan menebang hutan sebagai bagian dari kegiatan ekonomi yang diwarisi turun-temurun, yakni untuk membuat kebun atau ladang. Para pengusaha hutan melihat hutan sebagai ladang bisnis; kayunya ditebang, lalu dijual untuk mendapatkan uang, sekaligus untuk membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Sementara itu, bagi pecinta lingkungan, hutan adalah paru-paru dunia yang dapat menyelamatkan dunia dari bocornya lapisan ozon, dari terjadinya banjir, dan sebagainya. Dengan demikian, hutan tidak boleh ditebang dan harus dilestarikan. Perbedaan kepentingan antarindividu atau antarkelompok seperti contoh di atas dapat menimbulkan konflik sosial di masyarakat.
Perubahan Sosial
Masyarakat merupakan sekelompok manusia yang terus berubah seiring dengan berkembangnya kebutuhan dan pengetahuannya. Coba perhatikan masyarakat kita saat ini dan bandingkan dengan keadaan sebelumnya sekitar 10 atau 20 tahun yang lalu. Tentu sangat berbeda. Perubahan-perubahan tersebut tentu juga mempengaruhi cara pandang sebagian anggota masyarakat terhadap nilai, norma, dan pola perilaku masyarakat. Apalagi jika perubahan itu berlangsung dengan cepat dan meluas. Muncullah perilaku-perilaku lain yang dianggap oleh sebagian anggota masyarakat lain sebagai perilaku berlawanan, aneh, dan bertentangan dengan kebudayaan masyarakatnya. Situasi seperti itu dapat memunculkan konflik atau pertentangan.
Sebagai contoh, konflik antara kaum muda dan kaum tua. Biasanya, kaum muda cenderung ingin merombak pola perilaku atau tradisi masyarakatnya, sedangkan kaum tua ingin tetap mempertahankan pola perilaku dan tradisi nenek moyangnya. Hal yang sama dapat kita saksikan dari proses perubahan masyarakat pedesaan di Indonesia beberapa dekade belakangan ini. Masyarakat pedesaan Indonesia saat ini sedang mengalami proses perubahan dari masyarakat yang tradisional ke masyarakat industri. Nilai-nilai tradisional seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan dengan jenis pekerjaannya. Demikian juga dengan nilai-nilai. Nilai kebersamaan berubah menjadi individualis, dan nilai pemanfaatan waktu yang awalnya berorientasi pada fungsi sosial berubah menjadi fungsi materialis, yaitu "waktu adalah uang". Perubahan seperti itu tidak jarang menimbulkan konflik-konflik di tengah masyarakat. Konflik tersebut muncul karena ada upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan. Perubahan itu dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.
Dampak Sebuah Konflik
Meskipun konflik sosial merupakan proses disosiatif yang mengarah pada kemungkinan terjadinya kekerasan, konflik juga merupakan suatu proses sosial yang mempunyai segi positif bagi masyarakat. Konflik dikatakan positif jika tidak bertentangan dengan pola-pola hubungan sosial di dalam struktur sosial. Hal itu disebabkan oleh adanya kecenderungan individu untuk menyesuaikan kembali norma-norma dan hubungan-hubungan sosial dalam kelompok. Umumnya, individu mengadakan penyesuaian karena ia memiliki kepentingan terhadap kelompok.
Menurut Lewis A. Coser, konflik merupakan peristiwa normal yang dapat memperkuat struktur hubungan-hubungan sosial. Tidak adanya konflik dalam sebuah masyarakat tidak dapat dianggap sebagai petunjuk kekuatan dan stabilitas hubungan sosial masyarakatnya. Konflik yang diungkapkan dapat merupakan tanda hubungan sosial yang hidup dan dinamis. Sebenarnya, masyarakat yang memperbolehkan terjadinya konflik adalah masyarakat yang cenderung terhindar dari kemungkinan ledakan konflik dan kehancuran struktur sosial.
Segi positif suatu konflik adalah sebagai berikut.
1. Konflik dapat memperjelas aspek-aspek kehidupan yang belum jelas atau masih belum tuntas ditelaah. Sebagai contoh, perbedaan pendapat tentang suatu permasalahan dalam diskusi atau seminar biasanya bersifat positif. Perbedaan pendapat justru dapat memperjelas dan mempertajam kesimpulan seminar tersebut.
2. Konflik memungkinkan adanya penyesuaian kembali norma-norma, nilai-nilai, serta hubungan-hubungan sosial dalam kelompok bersangkutan dengan kebutuhan individu atau kelompok.
3. Konflik meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in group solidarity) yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. William F. Ogburn dan Mayer Nimkoff mengatakan bahwa semakin besar permusuhan terhadap kelompok luar semakin besar pula integrasi atau solidaritas internal kelompok. Anggota-anggota kelompok akan bersatu untuk menghadapi musuh bersama mereka.
4. Konflik merupakan jalan untuk mengurangi ketergantungan antarindividu dan kelompok.
5. Konflik dapat membantu menghidupkan kembali norma-norma lama dan menciptakan norma-norma baru.
6. Konflik dapat berfungsi sebagai sarana untuk mencapai keseimbangan antara kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat.
7. Konflik memunculkan sebuah kompromi baru apabila pihak yang berkonflik berada dalam kekuatan yang seimbang. Contohnya dua pihak yang berkonflik dapat memutuskan untuk tidak melanjutkan konflik karena menyadari bahwa konflik tidak akan pernah berakhir.
Segi negatif suatu konflik adalah sebagai berikut.
1. Keretakan hubungan antarindividu dan persatuan kelompok.
2. Kerusakan harta benda dan hilangnya nyawa manusia.
3. Berubahnya kepribadian para individu. Sebagai contoh, konflik memunculkan rasa benci, curiga, atau menjadikan perkelahian sebagai solusi atas sebuah permasalahan dalam kelompok remaja dan anak-anak.
4. Munculnya dominasi kelompok pemenang atas kelompok yang kalah.
Menurut Lewis A. Coser, konflik merupakan peristiwa normal yang dapat memperkuat struktur hubungan-hubungan sosial. Tidak adanya konflik dalam sebuah masyarakat tidak dapat dianggap sebagai petunjuk kekuatan dan stabilitas hubungan sosial masyarakatnya. Konflik yang diungkapkan dapat merupakan tanda hubungan sosial yang hidup dan dinamis. Sebenarnya, masyarakat yang memperbolehkan terjadinya konflik adalah masyarakat yang cenderung terhindar dari kemungkinan ledakan konflik dan kehancuran struktur sosial.
Segi positif suatu konflik adalah sebagai berikut.
1. Konflik dapat memperjelas aspek-aspek kehidupan yang belum jelas atau masih belum tuntas ditelaah. Sebagai contoh, perbedaan pendapat tentang suatu permasalahan dalam diskusi atau seminar biasanya bersifat positif. Perbedaan pendapat justru dapat memperjelas dan mempertajam kesimpulan seminar tersebut.
2. Konflik memungkinkan adanya penyesuaian kembali norma-norma, nilai-nilai, serta hubungan-hubungan sosial dalam kelompok bersangkutan dengan kebutuhan individu atau kelompok.
3. Konflik meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in group solidarity) yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. William F. Ogburn dan Mayer Nimkoff mengatakan bahwa semakin besar permusuhan terhadap kelompok luar semakin besar pula integrasi atau solidaritas internal kelompok. Anggota-anggota kelompok akan bersatu untuk menghadapi musuh bersama mereka.
4. Konflik merupakan jalan untuk mengurangi ketergantungan antarindividu dan kelompok.
5. Konflik dapat membantu menghidupkan kembali norma-norma lama dan menciptakan norma-norma baru.
6. Konflik dapat berfungsi sebagai sarana untuk mencapai keseimbangan antara kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat.
7. Konflik memunculkan sebuah kompromi baru apabila pihak yang berkonflik berada dalam kekuatan yang seimbang. Contohnya dua pihak yang berkonflik dapat memutuskan untuk tidak melanjutkan konflik karena menyadari bahwa konflik tidak akan pernah berakhir.
Segi negatif suatu konflik adalah sebagai berikut.
1. Keretakan hubungan antarindividu dan persatuan kelompok.
2. Kerusakan harta benda dan hilangnya nyawa manusia.
3. Berubahnya kepribadian para individu. Sebagai contoh, konflik memunculkan rasa benci, curiga, atau menjadikan perkelahian sebagai solusi atas sebuah permasalahan dalam kelompok remaja dan anak-anak.
4. Munculnya dominasi kelompok pemenang atas kelompok yang kalah.
Bentuk-Bentuk Konflik
Berdasarkan bentuknya, Lewis A. Coser membedakan konflik atas dua bentuk, yakni konflik realistis dan konflik nonrealistis.
1. Konflik realistis berasal dari kekecewaan individu atau kelompok terhadap sistem dan tuntutan-tuntutan yang terdapat dalam hubungan sosial. Para karyawan yang mengadakan pemogokan melawan manajemen perusahaan merupakan salah satu contoh konflik realistis.
2. Konflik nonrealistis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan persaingan yang antagonistis (berlawanan), melainkan dari kebutuhan pihak-pihak tertentu untuk meredakan ketegangan. Dalam masyarakat tradisional, pembalasan dendam lewat ilmu gaib merupakan bentuk konflik nonrealistis. Demikian juga halnya dengan upaya mencari kambing hitam yang sering terjadi dalam masyarakat yang telah maju.
Lewis A. Coser menyatakan bahwa dalam situasi tertentu, elemen konflik dapat berbentuk realistis sekaligus non-realistis. Misalnya, sikap perlawanan dalam aksi pemogokan melawan majikan, tidak hanya timbul sebagai akibat dari ketegangan hubungan antara buruh dan majikan. Sikap perlawanan itu juga dapat timbul karena ketidakmampuan menghilangkan rasa permusuhan terhadap figur-figur yang berkuasa, misalnya figur ayah di rumah yang sangat otoriter. Dengan demikian, energi agresif mungkin terbentuk lewat proses-proses interaksi lain sebelum ketegangan dan konflik itu muncul.
Berdasarkan kedua bentuk konflik di atas, Lewis A. Coser membedakan adanya konflik in-group dan konflik out-group. Konflik in-group adalah konflik yang terjadi dalam kelompok itu sendiri. Contoh konflik in-group adalah konflik yang terjadi antaranggota dalam suatu geng. Konflik out-group adalah konflik yang terjadi antara suatu kelompok dan kelompok lain. Sebagai contoh, konflik yang terjadi antara masyarakat Dayak dan masyarakat Madura beberapa tahun lalu, atau antarkelompok agama di Maluku.
Ahli lain, Dahrendorf membedakan konflik atas empat macam, yaitu sebagai berikut.
1. Konflik-konflik di antara peranan-peranan sosial. Sebagai contoh, konflik antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi, seperti peranan seorang suami dan istri dalam mendapatkan penghasilan.
2. Konflik-konflik di antara kelompok-kelompok sosial.
3. Konflik-konflik di antara kelompok-kelompok yang terorganisasi dan tidak terorganisasi.
4. Konflik-konflik di antara satuan nasional, seperti antara partai politik, antara negara-negara, atau antara organisasi-organisasi internasional.
Soerjono Soekanto menyebutkan lima bentuk khusus konflik atau pertentangan yang terjadi dalam masyarakat. Kelima bentuk konflik atau pertentangan itu adalah sebagai berikut.
1. Konflik atau pertentangan pribadi.
Konflik ini terjadi antara dua individu atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.
2. Konflik atau pertentangan rasial.
Konflik ini umumnya timbul akibat perbedaan-perbedaan ras, seperti perbedaan ciri badaniah, kepentingan, dan kebudayaan.
Biasanya, konflik ini terjadi dalam masyarakat yang salah satu rasnya menjadi kelompok mayoritas. Sebagai contoh, konflik antara orang kulit hitam dan kulit putih di Afrika Selatan.
3. Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial. Konflik ini umumnya disebabkan karena perbedaan kepentingan, misalnya konflik akibat perbedaan kepentingan antara buruh dan majikan.
4. Konflik atau pertentangan politik.
Konflik ini terjadi akibat adanya kepentingan atau tujuan-tujuan politis seseorang atau kelompok, contohnya konflik antarpartai politik dalam sebuah negara.
5. Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional. Umumnya, konflik ini terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan negara. Sebagai contoh, konflik antarnegara mengenai suatu wilayah eksplorasi minyak di daerah perbatasan.
Dari sudut psikologi sosial, Ursula Lehr mengemukakan bentuk-bentuk konflik sebagai berikut.
1. Konflik dengan orangtua sendiri
Konflik ini muncul karena adanya perilaku anak dan harapan orangtua yang tidak serasi. Sebagai contoh, sang anak tidak mengikuti kehendak orangtuanya untuk masuk fakultas kedokteran dan lebih memilih fakultas hukum yang disukainya.
2. Konflik dengan anak-anak sendiri
Konflik ini terjadi sebagai reaksi atas perilaku anak yang tidak sesuai dengan harapan orangtua. Umumnya, orangtua memberikan tanggapan yang berlebihan atas perlawanan atau pembangkangan anak. Contoh tanggapan tersebut adalah menghukum dan mengurangi hak-hak mereka. Jika anak memberikan reaksi negatif terhadap tanggapan orangtua tersebut, seringkali timbul konflik.
3. Konflik dengan keluarga
Konflik ini dapat terjadi dalam seluruh perkembangan seseorang. Pada masa kanak-kanak dan remaja, seseorang dapat berkonflik dengan kakek, nenek, paman, atau bibi yang ikut dalam proses pendidikannya (sosialisasi). Pada masa dewasa, ia dapat saja berkonflik dengan mertua atau keluarga suami/istri yang dipandang terlalu ikut campur dalam kehidupan pribadi dan keluarganya. Ia juga dapat berkonflik dengan saudara-saudara sendiri, misalnya tentang pembagian warisan.
4. Konflik dengan orang lain
Konflik jenis ini timbul dalam hubungan sosial dengan lingkungan sekitarnya, seperti dengan tetangga, atau dengan teman kerja. Konflik dengan orang lain dapat timbul karena perbedaan pendirian atau pandangan mengenai sesuatu hal.
5. Konflik dengan suami atau dengan istri
Konflik ini umumnya timbul akibat berbagai kesulitan yang dihadapi dalam perkawinan, termasuk pertentangan mengenai persoalan ekonomi atau mengenai cara mendidik anak.
6. Konflik di sekolah
Konflik di sekolah dapat berupa konflik akibat tidak dapat mengikuti pelajaran, tidak lulus ujian, konflik hubungan antara guru dan murid, atau konflik tentang kedudukan di antara teman-teman sebaya dalam kelas.
7. Konflik dalam pemilihan pekerjaan
Konflik dalam pekerjaan dapat berupa konflik yang timbul dari pekerjaan itu sendiri, seperti pekerjaan yang membosankan atau terlalu berat. Konflik jenis ini juga dapat berhubungan dengan waktu kerja, keuangan, dan konflik dalam hubungan antarteman sekerja.
8. Konflik agama
Konflik ini umumnya berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat dan tujuan hidup, aturan dan perilaku yang bertentangan dengan agama, pindah agama, dan pernikahan beda agama.
9. Konflik pribadi
Konflik ini dapat timbul karena minat yang berlawanan, tidak ada keuletan, tidak ada kemampuan untuk mengembangkan diri, serta tidak adanya semangat hidup.
1. Konflik realistis berasal dari kekecewaan individu atau kelompok terhadap sistem dan tuntutan-tuntutan yang terdapat dalam hubungan sosial. Para karyawan yang mengadakan pemogokan melawan manajemen perusahaan merupakan salah satu contoh konflik realistis.
2. Konflik nonrealistis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan persaingan yang antagonistis (berlawanan), melainkan dari kebutuhan pihak-pihak tertentu untuk meredakan ketegangan. Dalam masyarakat tradisional, pembalasan dendam lewat ilmu gaib merupakan bentuk konflik nonrealistis. Demikian juga halnya dengan upaya mencari kambing hitam yang sering terjadi dalam masyarakat yang telah maju.
Lewis A. Coser menyatakan bahwa dalam situasi tertentu, elemen konflik dapat berbentuk realistis sekaligus non-realistis. Misalnya, sikap perlawanan dalam aksi pemogokan melawan majikan, tidak hanya timbul sebagai akibat dari ketegangan hubungan antara buruh dan majikan. Sikap perlawanan itu juga dapat timbul karena ketidakmampuan menghilangkan rasa permusuhan terhadap figur-figur yang berkuasa, misalnya figur ayah di rumah yang sangat otoriter. Dengan demikian, energi agresif mungkin terbentuk lewat proses-proses interaksi lain sebelum ketegangan dan konflik itu muncul.
Berdasarkan kedua bentuk konflik di atas, Lewis A. Coser membedakan adanya konflik in-group dan konflik out-group. Konflik in-group adalah konflik yang terjadi dalam kelompok itu sendiri. Contoh konflik in-group adalah konflik yang terjadi antaranggota dalam suatu geng. Konflik out-group adalah konflik yang terjadi antara suatu kelompok dan kelompok lain. Sebagai contoh, konflik yang terjadi antara masyarakat Dayak dan masyarakat Madura beberapa tahun lalu, atau antarkelompok agama di Maluku.
Ahli lain, Dahrendorf membedakan konflik atas empat macam, yaitu sebagai berikut.
1. Konflik-konflik di antara peranan-peranan sosial. Sebagai contoh, konflik antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi, seperti peranan seorang suami dan istri dalam mendapatkan penghasilan.
2. Konflik-konflik di antara kelompok-kelompok sosial.
3. Konflik-konflik di antara kelompok-kelompok yang terorganisasi dan tidak terorganisasi.
4. Konflik-konflik di antara satuan nasional, seperti antara partai politik, antara negara-negara, atau antara organisasi-organisasi internasional.
Soerjono Soekanto menyebutkan lima bentuk khusus konflik atau pertentangan yang terjadi dalam masyarakat. Kelima bentuk konflik atau pertentangan itu adalah sebagai berikut.
1. Konflik atau pertentangan pribadi.
Konflik ini terjadi antara dua individu atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.
2. Konflik atau pertentangan rasial.
Konflik ini umumnya timbul akibat perbedaan-perbedaan ras, seperti perbedaan ciri badaniah, kepentingan, dan kebudayaan.
Biasanya, konflik ini terjadi dalam masyarakat yang salah satu rasnya menjadi kelompok mayoritas. Sebagai contoh, konflik antara orang kulit hitam dan kulit putih di Afrika Selatan.
3. Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial. Konflik ini umumnya disebabkan karena perbedaan kepentingan, misalnya konflik akibat perbedaan kepentingan antara buruh dan majikan.
4. Konflik atau pertentangan politik.
Konflik ini terjadi akibat adanya kepentingan atau tujuan-tujuan politis seseorang atau kelompok, contohnya konflik antarpartai politik dalam sebuah negara.
5. Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional. Umumnya, konflik ini terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan negara. Sebagai contoh, konflik antarnegara mengenai suatu wilayah eksplorasi minyak di daerah perbatasan.
Dari sudut psikologi sosial, Ursula Lehr mengemukakan bentuk-bentuk konflik sebagai berikut.
1. Konflik dengan orangtua sendiri
Konflik ini muncul karena adanya perilaku anak dan harapan orangtua yang tidak serasi. Sebagai contoh, sang anak tidak mengikuti kehendak orangtuanya untuk masuk fakultas kedokteran dan lebih memilih fakultas hukum yang disukainya.
2. Konflik dengan anak-anak sendiri
Konflik ini terjadi sebagai reaksi atas perilaku anak yang tidak sesuai dengan harapan orangtua. Umumnya, orangtua memberikan tanggapan yang berlebihan atas perlawanan atau pembangkangan anak. Contoh tanggapan tersebut adalah menghukum dan mengurangi hak-hak mereka. Jika anak memberikan reaksi negatif terhadap tanggapan orangtua tersebut, seringkali timbul konflik.
3. Konflik dengan keluarga
Konflik ini dapat terjadi dalam seluruh perkembangan seseorang. Pada masa kanak-kanak dan remaja, seseorang dapat berkonflik dengan kakek, nenek, paman, atau bibi yang ikut dalam proses pendidikannya (sosialisasi). Pada masa dewasa, ia dapat saja berkonflik dengan mertua atau keluarga suami/istri yang dipandang terlalu ikut campur dalam kehidupan pribadi dan keluarganya. Ia juga dapat berkonflik dengan saudara-saudara sendiri, misalnya tentang pembagian warisan.
4. Konflik dengan orang lain
Konflik jenis ini timbul dalam hubungan sosial dengan lingkungan sekitarnya, seperti dengan tetangga, atau dengan teman kerja. Konflik dengan orang lain dapat timbul karena perbedaan pendirian atau pandangan mengenai sesuatu hal.
5. Konflik dengan suami atau dengan istri
Konflik ini umumnya timbul akibat berbagai kesulitan yang dihadapi dalam perkawinan, termasuk pertentangan mengenai persoalan ekonomi atau mengenai cara mendidik anak.
6. Konflik di sekolah
Konflik di sekolah dapat berupa konflik akibat tidak dapat mengikuti pelajaran, tidak lulus ujian, konflik hubungan antara guru dan murid, atau konflik tentang kedudukan di antara teman-teman sebaya dalam kelas.
7. Konflik dalam pemilihan pekerjaan
Konflik dalam pekerjaan dapat berupa konflik yang timbul dari pekerjaan itu sendiri, seperti pekerjaan yang membosankan atau terlalu berat. Konflik jenis ini juga dapat berhubungan dengan waktu kerja, keuangan, dan konflik dalam hubungan antarteman sekerja.
8. Konflik agama
Konflik ini umumnya berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat dan tujuan hidup, aturan dan perilaku yang bertentangan dengan agama, pindah agama, dan pernikahan beda agama.
9. Konflik pribadi
Konflik ini dapat timbul karena minat yang berlawanan, tidak ada keuletan, tidak ada kemampuan untuk mengembangkan diri, serta tidak adanya semangat hidup.
Bentuk-Bentuk Integrasi Sosial
Integrasi sosial dapat terjadi dalam tiga bentuk berikut.
1. Integrasi Normatif
Integrasi normatif dapat diartikan sebagai sebuah bentuk integrasi yang terjadi akibat adanya norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dalam hal ini, norma merupakan hal yang mampu mempersatukan masyarakat. Misalnya, bangsa Indonesia dipersatukan oleh prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Kata Bhinneka Tunggal Ika menjadi sebuah norma yang berfungsi untuk mengintegrasikan perbedaan yang ada dalam masyarakat.
2. Integrasi Fungsional
Integrasi fungsional terbentuknya karena ada fungsi-fungsi tertentu dalam masyarakat. Sebuah integrasi dapat terbentuk dengan mengedepankan fungsi dari masing-masing pihak yang ada dalam sebuah masyarakat. Misalnya, Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku mengintegrasikan dirinya dengan melihat fungsi dari masing-masing suku yang ada, seperti suku Bugis yang suka melaut difungsikan sebagai penyedia hasil-hasil laut, suku Minang yang pandai berdagang difungsikan sebagai penjual dari hasil-hasil laut tersebut. Dengan demikian, akan tercipta sebuah integrasi dalam masyarakat.
3. Integrasi Koersif
Integrasi terakhir ini terbentuk berdasarkan kekuasaan yang dimiliki penguasa. Dalam hal ini penguasa menerapkan cara-cara koersif (kekerasan). Contoh integrasi koersif adalah perusuh yang berhenti mengacau karena polisi menembakkan gas air mata ke udara.
Integrasi sosial adalah suatu proses yang terjadi secara bertahap. Proses itu dapat bermula dari akomodasi keinginan berbagai pihak untuk bekerja sama. Hal itu dapat timbul karena kesadaran mereka atas kepentingan yang sama. Pada saat yang sama, mereka memiliki cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut. Kemudian, proses itu dilanjutkan dengan berbagai bentuk kerja sama. Dalam proses kerja sama itu, masing-masing pihak berusaha mengatasi perbedaan dan mengakomodasi keinginan, harapan, atau kebutuhan satu dengan yang lainnya. Selanjutnya, masing-masing pihak berusaha mempertinggi kesatuan tindakan, sikap, dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan dan tujuan bersama. Masing-masing pihak tidak lagi membedakan dirinya dengan anggota lainnya pada saat itu. Batas-batas di antara mereka akan hilang dan melebur menjadi satu. Hal itu menunjukkan bahwa integrasi sosial telah tercapai.
1. Integrasi Normatif
Integrasi normatif dapat diartikan sebagai sebuah bentuk integrasi yang terjadi akibat adanya norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dalam hal ini, norma merupakan hal yang mampu mempersatukan masyarakat. Misalnya, bangsa Indonesia dipersatukan oleh prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Kata Bhinneka Tunggal Ika menjadi sebuah norma yang berfungsi untuk mengintegrasikan perbedaan yang ada dalam masyarakat.
2. Integrasi Fungsional
Integrasi fungsional terbentuknya karena ada fungsi-fungsi tertentu dalam masyarakat. Sebuah integrasi dapat terbentuk dengan mengedepankan fungsi dari masing-masing pihak yang ada dalam sebuah masyarakat. Misalnya, Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku mengintegrasikan dirinya dengan melihat fungsi dari masing-masing suku yang ada, seperti suku Bugis yang suka melaut difungsikan sebagai penyedia hasil-hasil laut, suku Minang yang pandai berdagang difungsikan sebagai penjual dari hasil-hasil laut tersebut. Dengan demikian, akan tercipta sebuah integrasi dalam masyarakat.
3. Integrasi Koersif
Integrasi terakhir ini terbentuk berdasarkan kekuasaan yang dimiliki penguasa. Dalam hal ini penguasa menerapkan cara-cara koersif (kekerasan). Contoh integrasi koersif adalah perusuh yang berhenti mengacau karena polisi menembakkan gas air mata ke udara.
Integrasi sosial adalah suatu proses yang terjadi secara bertahap. Proses itu dapat bermula dari akomodasi keinginan berbagai pihak untuk bekerja sama. Hal itu dapat timbul karena kesadaran mereka atas kepentingan yang sama. Pada saat yang sama, mereka memiliki cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut. Kemudian, proses itu dilanjutkan dengan berbagai bentuk kerja sama. Dalam proses kerja sama itu, masing-masing pihak berusaha mengatasi perbedaan dan mengakomodasi keinginan, harapan, atau kebutuhan satu dengan yang lainnya. Selanjutnya, masing-masing pihak berusaha mempertinggi kesatuan tindakan, sikap, dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan dan tujuan bersama. Masing-masing pihak tidak lagi membedakan dirinya dengan anggota lainnya pada saat itu. Batas-batas di antara mereka akan hilang dan melebur menjadi satu. Hal itu menunjukkan bahwa integrasi sosial telah tercapai.
Sunday, March 27, 2016
Mengukur Hubungan Individu dalam Interaksi Sosial
Secara sosiologis, seorang individu baru mempunyai arti jika ia selalu mengadakan kontak dengan orang lain. Dalam hubungan itu terjadi interaksi dinamis. Dengan adanya kontak, kita akan memahami keberadaan masing-masing individu termasuk diri kita sendiri. Misalnya, apakah seseorang mempunyai hubungan baik dengan keluarganya atau dengan masyarakat sekitarnya. Manakah di antara keduanya yang akrab dengan orang tersebut, apakah keluarga atau masyarakat? Apakah orang tersebut akrab dengan kelompok primernya atau dengan kelompok sekundernya?
Untuk mengukur akrab atau tidaknya seseorang, umumnya digunakan sosiometri. Dari sosiometri itu dapat diketahui beberapa hal berikut.
1. Makin sering seseorang bergaul dengan orang lain, hubungannya akan semakin baik. Sebaliknya, makin sedikit ia bergaul berarti ia tidak memiliki pergaulan yang baik. Bahkan bila seseorang tidak pernah mau bergaul dengan orang lain, berarti ia terasing dari pergaulan, bahkan terisolir. Sering atau tidaknya seseorang bergaul disebut frekuensi dalam pergaulan.
2. Dari intim tidaknya seseorang dalam pergaulan dapat diketahui intensitas pergaulannya. Makin sering seseorang bergaul dengan temannya, berarti ia makin intim dengan temannya itu. Sebaliknya, makin jarang seseorang bergaul dengan temannya, berarti ia makin tidak intim dengan temannya itu. Banyak sedikitnya teman bergaul seseorang di dalam masyarakat disebut popularitas. Makin seseorang banyak teman maka dikatakan ia mempunyai hubungan sosial yang baik.
Dalam pergaulan, seseorang akan memilih atau menolak siapa yang akan ia jadikan teman. Tindakan ini disebut tindakan pemilihan.
Untuk mengukur akrab atau tidaknya seseorang, umumnya digunakan sosiometri. Dari sosiometri itu dapat diketahui beberapa hal berikut.
1. Makin sering seseorang bergaul dengan orang lain, hubungannya akan semakin baik. Sebaliknya, makin sedikit ia bergaul berarti ia tidak memiliki pergaulan yang baik. Bahkan bila seseorang tidak pernah mau bergaul dengan orang lain, berarti ia terasing dari pergaulan, bahkan terisolir. Sering atau tidaknya seseorang bergaul disebut frekuensi dalam pergaulan.
2. Dari intim tidaknya seseorang dalam pergaulan dapat diketahui intensitas pergaulannya. Makin sering seseorang bergaul dengan temannya, berarti ia makin intim dengan temannya itu. Sebaliknya, makin jarang seseorang bergaul dengan temannya, berarti ia makin tidak intim dengan temannya itu. Banyak sedikitnya teman bergaul seseorang di dalam masyarakat disebut popularitas. Makin seseorang banyak teman maka dikatakan ia mempunyai hubungan sosial yang baik.
Dalam pergaulan, seseorang akan memilih atau menolak siapa yang akan ia jadikan teman. Tindakan ini disebut tindakan pemilihan.
Pengertian kerja sama, akomodasi, asimilasi, dan akulturasi
Proses asosiatif mempunyai bentuk-bentuk, antara lain kerja sama, akomodasi, asimilasi, dan akulturasi.
Kerja sama (cooperation)
Kerja sama adalah suatu usaha bersama antarindividu atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Kerja sama timbul apabila orang menyadari memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, serta menyadari bahwa hal tersebut bermanfaat bagi dirinya atau orang lain. Kerja sama timbul karena orientasi individu terhadap kelompoknya (in group) dan orientasi individu terhadap kelompok lainnya (out group). Menurut Charles H. Cooley, kerja sama timbul apabila seseorang menyadari dirinya mempunyai kepentingan yang sama dengan orang lain. Selain itu, pada saat yang sama ia memiliki pengetahuan dan pengendalian terhadap dirinya sendiri untuk memenuhi kepentingan tersebut. Kesadaran tentang adanya kepentingan yang sama dan pengorganisasian diri merupakan hal penting dalam kerja sama.
Kerja sama dapat bertambah kuat apabila ada bahaya luar yang mengancam. Selain itu, kerja sama juga dapat bertambah kuat jika ada tindakan-tindakan luar yang menyinggung kesetiaan yang telah tertanam dalam kelompok, dalam diri seseorang, atau segolongan orang. Contohnya, kerja sama antarprajurit dalam satu kesatuan dapat terjalin ketika menghadapi musuh di dalam sebuah medan pertempuran.
Proses sosial yang erat kaitannya dengan kerja sama adalah konsensus. Konsensus hanya mungkin terjadi bila dua pihak atau lebih yang ingin memelihara suatu hubungan dan masing-masing memandang hubungan tersebut sebagai kepentingan sendiri. Keputusan untuk mengadakan konsensus timbul apabila anggota kelompok memiliki perbedaan pendapat. Dalam konsensus, pertentangan kepentingan terlihat nyata, tetapi tidak sebesar dalam konflik.
Berdasarkan pelaksanaannya, kerja sama memiliki lima bentuk.
1. Kerukunan atau gotong royong.
2. Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang atau jasa antara dua organisasi atau lebih.
3. Kooptasi, yaitu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan dan pelaksanaan politik organisasi sebagai satu-satunya cara untuk menghindari konflik yang bisa mengguncang organisasi.
4. Koalisi, yaitu kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan yang sama. Koalisi dapat menghasilkan keadaan yang tidak stabil sebab kedua organisasi memiliki struktur tersendiri,
5. Joint-venture, yaitu kerja sama dalam pengusahaan proyek tertentu, misalnya pengeboran minyak dan perhotelan.
Selain itu, beberapa ahli juga membagi kerja sama dalam beberapa bentuk berikut.
1. Kerja sama spontan (kerja sama serta-merta).
2. Kerja sama langsung (hasil dari perintah atasan atau penguasa).
3. Kerja sama kontrak (kerja sama atas dasar tertentu).
4. Kerja sama tradisional (kerja sama sebagai bagian antaraunsur dalam sistem sosial.
Akomodasi (accomodation)
Akomodasi memiliki dua makna, yaitu sebagai keadaan dan proses. Akomodasi sebagai keadaan mengacu pada keseimbangan interaksi antarindividu atau antarkelompok yang berkaitan dengan nilai dan norma sosial yang berlaku. Akomodasi sebagai sebuah proses mengacu pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan agar tercipta keseimbangan.
Akomodasi sebenarnya merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan lawan. Tujuan akomodasi berbeda-beda, tergantung pada situasi yang dihadapi. Beberapa tujuan akomodasi adalah sebagai berikut.
1. Untuk menghasilkan sintesis atau titik temu antara dua atau beberapa pendapat yang berbeda agar menghasilkan suatu pola baru.
2. Mencegah terjadinya pertentangan untuk sementara waktu.
3. Berusaha mengadakan kerja sama antarkelompok sosial yang terpisah akibat faktor sosial dan psikologis atau kebudayaan. Misalnya, kerja sama antarindividu yang berbeda kasta.
4. Mengusahakan peleburan antarkelompok sosial yang terpisah, misalnya, melalui perkawinan.
Akomodasi sebagai sebuah proses mempunyai beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut.
1. Koersi (coercion), yaitu bentuk akomodasi yang prosesnya melalui paksaan secara fisik maupun psikologis. Dalam koersi, salah satu pihak berada dalam posisi yang lemah. Misalnya, dalam sistem perbudakan atau penjajahan.
2. Kompromi (compromise), yaitu bentuk akomodasi di mana pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian. Contoh, perjanjian antarnegara tentang batas wilayah perairan.
3. Arbitrasi (arbitration), yaitu cara untuk mencapai sebuah kompromi melalui pihak ketiga, sebab pihak-pihak yang bertikai tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Pihak ketiga ini dipilih oleh kedua belah pihak atau oleh badan yang berwewenang. Contoh, masalah antara karyawan dan perusahaan tentang gaji. Masalah ini bisa diatasi dengan meminta bantuan pemerintah yang kemudian menetapkan upah minimum.
4. Mediasi (mediation) hampir mirip dengan arbitrasi, hanya saja pihak ketiganya netral. Kedudukan pihak ketiga hanya sebagai penasihat yang mengusahakan jalan damai, tetapi tidak memiliki wewenang dalam mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah.
5. Konsiliasi (conciliation), yaitu suatu usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak yang bertikai untuk mencapai suatu kesepakatan. Contoh, mempertemukan wakil buruh, perusahaan, dan jamsostek untuk saling mengungkapkan keinginan dan mencapai kesepakatan.
6. Toleransi (tolerance), yaitu bentuk akomodasi yang terjadinya tanpa persetujuan yang sifatnya formal. Kadang-kadang, toleransi timbul secara tidak sadar dan spontan akibat reaksi alamiah individu atau kelompok yang ingin menghindari perselisihan. Contoh, pada bulan puasa, umat yang tidak berpuasa tidak makan di sembarang tempat. Selain itu, ketika suatu kelompok umat beragama sedang beribadah, umat beragama yang lain tidak membuat keributan.
7. Stalemate, terjadi ketika pihak-pihak yang bertikai memiliki kekuatan yang seimbang hingga pada akhirnya pertikaian tersebut berhenti pada titik tertentu. Misalnya, ketegangan Korea Utara dan Korea Selatan di bidang senjata nuklir.
8. Ajudikasi (adjudication), yaitu cara menyelesaikan masalah melalui pengadilan.
9. Segregasi (segregation), yaitu masing-masing pihak memisahkan diri dan saling menghindar dalam rangka mengurangi ketegangan.
10. Eliminasi (elimination), yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat dalam konflik karena mengalah.
11. Subjugation atau domination, yaitu pihak yang mempunyai kekuatan besar untuk meminta pihak lain menaatinya.
12. Keputusan mayoritas (majority nde), yaitu keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak dalam voting.
13. Minority consent, yaitu golongan minoritas yang tidak merasa dikalahkan tetapi dapat melakukan kegiatan bersama.
14. Konversi, yaitu penyelesaian konflik di mana salah satu pihak bersedia mengalah dan mau menerima pendirian pihak lain.
15. Gencatan senjata (cease fire), yaitu penangguhan permusuhan dalam jangka waktu tertentu.
Asimilasi (assimilation)
Asimilasi merupakan usaha-usaha untuk mengurangi perbedaan antarindividu atau antarkelompok guna mencapai satu kesepakatan berdasarkan kepentingan dan tujuan-tujuan bersama. Menurut Koentjaraningrat, proses asimiliasi akan timbul jika ada kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan kebudayaan. Kemudian, individu-individu dalam kelompok tersebut saling berinteraksi secara langsung dan terus menerus dalam jangka waktu lama, sehingga kebudayaan masing-masing kelompok berubah dan saling menyesuaikan diri.
Dalam asimilasi terjadi proses identifikasi diri dengan kepentingan-kepentingan dan tujuan kelompok. Apabila dua kelompok atau dua orang melakukan asimilasi, maka batas-batas antarkelompok akan hilang dan keduanya melebur menjadi satu kelompok yang baru.
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya asimilasi adalah sebagai berikut.
1. Sikap toleransi.
2. Kesempatan yang seimbang dalam ekonomi (tiap-tiap individu mendapat kesempatan yang sama untuk mencapai kedudukan tertentu atas dasar kemampuan dan jasanya).
3. Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya.
4. Sikap terbuka dari golongan penguasa dalam masyarakat.
5. Persamaan dalam unsur kebudayaan.
6. Perkawinan campuran (amalgamasi).
7. Adanya musuh bersama dari luar.
Sebaliknya, faktor-faktor yang menjadi penghalang terjadinya asimilasi adalah sebagai berikut.
1. Terisolasinya kehidupan suatu golongan tertentu dalam masyarakat. Contoh, orang Indian di Amerika Serikat yang diharuskan bertempat tinggal di wilayah-wilayah tertentu (reservation).
2. Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi.
3. Adanya perasaan takut terhadap kekuatan suatu kebudayaan yang dihadapi.
4. Adanya perasaan bahwa suatu kebudayaan golongan atau kelompok tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan golongan atau kelompok lainnya.
5. Adanya perbedaan warna kulit atau ciri-ciri badaniah.
6. Adanya in group feeling yang kuat. Artinya, ada suatu perasaan yang kuat bahwa individu terikat pada kelompok dan kebudayaan kelompok yang bersangkutan.
7. Adanya gangguan golongan minoritas terhadap golongan yang berkuasa. Contoh, perlakuan kasar terhadap orang-orang Jepang yang tinggal di Amerika Serikat sesudah pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat Pearl Harbor diserang secara mendadak oleh tentara Jepang pada tahun 1941.
8. Adanya perbedaan kepentingan dan pertentangan-pertentangan pribadi.
Akulturasi (aculturation)
Akulturasi adalah berpadunya dua kebudayaan yang berbeda dan membentuk suatu kebudayaan baru dengan tidak menghilangkan ciri kepribadian masing-masing. Contoh akulturasi adalah Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan India dan kebudayaan Indonesia. Demikian juga musik keroncong yang merupakan perpaduan antara musik Portugis dan musik Indonesia.
Proses akulturasi dapat berjalan sangat cepat atau lambat, tergantung persepsi masyarakat setempat terhadap budaya asing yang masuk. Apabila budaya asing itu masuk melalui proses pemaksaan, maka akulturasi memakan waktu relatif lama. Sebaliknya, apabila budaya asing itu masuk melalui proses damai, akulturasi akan terjadi secara cepat.
Kerja sama (cooperation)
Kerja sama adalah suatu usaha bersama antarindividu atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Kerja sama timbul apabila orang menyadari memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, serta menyadari bahwa hal tersebut bermanfaat bagi dirinya atau orang lain. Kerja sama timbul karena orientasi individu terhadap kelompoknya (in group) dan orientasi individu terhadap kelompok lainnya (out group). Menurut Charles H. Cooley, kerja sama timbul apabila seseorang menyadari dirinya mempunyai kepentingan yang sama dengan orang lain. Selain itu, pada saat yang sama ia memiliki pengetahuan dan pengendalian terhadap dirinya sendiri untuk memenuhi kepentingan tersebut. Kesadaran tentang adanya kepentingan yang sama dan pengorganisasian diri merupakan hal penting dalam kerja sama.
Kerja sama dapat bertambah kuat apabila ada bahaya luar yang mengancam. Selain itu, kerja sama juga dapat bertambah kuat jika ada tindakan-tindakan luar yang menyinggung kesetiaan yang telah tertanam dalam kelompok, dalam diri seseorang, atau segolongan orang. Contohnya, kerja sama antarprajurit dalam satu kesatuan dapat terjalin ketika menghadapi musuh di dalam sebuah medan pertempuran.
Proses sosial yang erat kaitannya dengan kerja sama adalah konsensus. Konsensus hanya mungkin terjadi bila dua pihak atau lebih yang ingin memelihara suatu hubungan dan masing-masing memandang hubungan tersebut sebagai kepentingan sendiri. Keputusan untuk mengadakan konsensus timbul apabila anggota kelompok memiliki perbedaan pendapat. Dalam konsensus, pertentangan kepentingan terlihat nyata, tetapi tidak sebesar dalam konflik.
Berdasarkan pelaksanaannya, kerja sama memiliki lima bentuk.
1. Kerukunan atau gotong royong.
2. Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang atau jasa antara dua organisasi atau lebih.
3. Kooptasi, yaitu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan dan pelaksanaan politik organisasi sebagai satu-satunya cara untuk menghindari konflik yang bisa mengguncang organisasi.
4. Koalisi, yaitu kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan yang sama. Koalisi dapat menghasilkan keadaan yang tidak stabil sebab kedua organisasi memiliki struktur tersendiri,
5. Joint-venture, yaitu kerja sama dalam pengusahaan proyek tertentu, misalnya pengeboran minyak dan perhotelan.
Selain itu, beberapa ahli juga membagi kerja sama dalam beberapa bentuk berikut.
1. Kerja sama spontan (kerja sama serta-merta).
2. Kerja sama langsung (hasil dari perintah atasan atau penguasa).
3. Kerja sama kontrak (kerja sama atas dasar tertentu).
4. Kerja sama tradisional (kerja sama sebagai bagian antaraunsur dalam sistem sosial.
Akomodasi (accomodation)
Akomodasi memiliki dua makna, yaitu sebagai keadaan dan proses. Akomodasi sebagai keadaan mengacu pada keseimbangan interaksi antarindividu atau antarkelompok yang berkaitan dengan nilai dan norma sosial yang berlaku. Akomodasi sebagai sebuah proses mengacu pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan agar tercipta keseimbangan.
Akomodasi sebenarnya merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan lawan. Tujuan akomodasi berbeda-beda, tergantung pada situasi yang dihadapi. Beberapa tujuan akomodasi adalah sebagai berikut.
1. Untuk menghasilkan sintesis atau titik temu antara dua atau beberapa pendapat yang berbeda agar menghasilkan suatu pola baru.
2. Mencegah terjadinya pertentangan untuk sementara waktu.
3. Berusaha mengadakan kerja sama antarkelompok sosial yang terpisah akibat faktor sosial dan psikologis atau kebudayaan. Misalnya, kerja sama antarindividu yang berbeda kasta.
4. Mengusahakan peleburan antarkelompok sosial yang terpisah, misalnya, melalui perkawinan.
Akomodasi sebagai sebuah proses mempunyai beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut.
1. Koersi (coercion), yaitu bentuk akomodasi yang prosesnya melalui paksaan secara fisik maupun psikologis. Dalam koersi, salah satu pihak berada dalam posisi yang lemah. Misalnya, dalam sistem perbudakan atau penjajahan.
2. Kompromi (compromise), yaitu bentuk akomodasi di mana pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian. Contoh, perjanjian antarnegara tentang batas wilayah perairan.
3. Arbitrasi (arbitration), yaitu cara untuk mencapai sebuah kompromi melalui pihak ketiga, sebab pihak-pihak yang bertikai tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Pihak ketiga ini dipilih oleh kedua belah pihak atau oleh badan yang berwewenang. Contoh, masalah antara karyawan dan perusahaan tentang gaji. Masalah ini bisa diatasi dengan meminta bantuan pemerintah yang kemudian menetapkan upah minimum.
4. Mediasi (mediation) hampir mirip dengan arbitrasi, hanya saja pihak ketiganya netral. Kedudukan pihak ketiga hanya sebagai penasihat yang mengusahakan jalan damai, tetapi tidak memiliki wewenang dalam mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah.
5. Konsiliasi (conciliation), yaitu suatu usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak yang bertikai untuk mencapai suatu kesepakatan. Contoh, mempertemukan wakil buruh, perusahaan, dan jamsostek untuk saling mengungkapkan keinginan dan mencapai kesepakatan.
6. Toleransi (tolerance), yaitu bentuk akomodasi yang terjadinya tanpa persetujuan yang sifatnya formal. Kadang-kadang, toleransi timbul secara tidak sadar dan spontan akibat reaksi alamiah individu atau kelompok yang ingin menghindari perselisihan. Contoh, pada bulan puasa, umat yang tidak berpuasa tidak makan di sembarang tempat. Selain itu, ketika suatu kelompok umat beragama sedang beribadah, umat beragama yang lain tidak membuat keributan.
7. Stalemate, terjadi ketika pihak-pihak yang bertikai memiliki kekuatan yang seimbang hingga pada akhirnya pertikaian tersebut berhenti pada titik tertentu. Misalnya, ketegangan Korea Utara dan Korea Selatan di bidang senjata nuklir.
8. Ajudikasi (adjudication), yaitu cara menyelesaikan masalah melalui pengadilan.
9. Segregasi (segregation), yaitu masing-masing pihak memisahkan diri dan saling menghindar dalam rangka mengurangi ketegangan.
10. Eliminasi (elimination), yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat dalam konflik karena mengalah.
11. Subjugation atau domination, yaitu pihak yang mempunyai kekuatan besar untuk meminta pihak lain menaatinya.
12. Keputusan mayoritas (majority nde), yaitu keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak dalam voting.
13. Minority consent, yaitu golongan minoritas yang tidak merasa dikalahkan tetapi dapat melakukan kegiatan bersama.
14. Konversi, yaitu penyelesaian konflik di mana salah satu pihak bersedia mengalah dan mau menerima pendirian pihak lain.
15. Gencatan senjata (cease fire), yaitu penangguhan permusuhan dalam jangka waktu tertentu.
Asimilasi (assimilation)
Asimilasi merupakan usaha-usaha untuk mengurangi perbedaan antarindividu atau antarkelompok guna mencapai satu kesepakatan berdasarkan kepentingan dan tujuan-tujuan bersama. Menurut Koentjaraningrat, proses asimiliasi akan timbul jika ada kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan kebudayaan. Kemudian, individu-individu dalam kelompok tersebut saling berinteraksi secara langsung dan terus menerus dalam jangka waktu lama, sehingga kebudayaan masing-masing kelompok berubah dan saling menyesuaikan diri.
Dalam asimilasi terjadi proses identifikasi diri dengan kepentingan-kepentingan dan tujuan kelompok. Apabila dua kelompok atau dua orang melakukan asimilasi, maka batas-batas antarkelompok akan hilang dan keduanya melebur menjadi satu kelompok yang baru.
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya asimilasi adalah sebagai berikut.
1. Sikap toleransi.
2. Kesempatan yang seimbang dalam ekonomi (tiap-tiap individu mendapat kesempatan yang sama untuk mencapai kedudukan tertentu atas dasar kemampuan dan jasanya).
3. Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya.
4. Sikap terbuka dari golongan penguasa dalam masyarakat.
5. Persamaan dalam unsur kebudayaan.
6. Perkawinan campuran (amalgamasi).
7. Adanya musuh bersama dari luar.
Sebaliknya, faktor-faktor yang menjadi penghalang terjadinya asimilasi adalah sebagai berikut.
1. Terisolasinya kehidupan suatu golongan tertentu dalam masyarakat. Contoh, orang Indian di Amerika Serikat yang diharuskan bertempat tinggal di wilayah-wilayah tertentu (reservation).
2. Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi.
3. Adanya perasaan takut terhadap kekuatan suatu kebudayaan yang dihadapi.
4. Adanya perasaan bahwa suatu kebudayaan golongan atau kelompok tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan golongan atau kelompok lainnya.
5. Adanya perbedaan warna kulit atau ciri-ciri badaniah.
6. Adanya in group feeling yang kuat. Artinya, ada suatu perasaan yang kuat bahwa individu terikat pada kelompok dan kebudayaan kelompok yang bersangkutan.
7. Adanya gangguan golongan minoritas terhadap golongan yang berkuasa. Contoh, perlakuan kasar terhadap orang-orang Jepang yang tinggal di Amerika Serikat sesudah pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat Pearl Harbor diserang secara mendadak oleh tentara Jepang pada tahun 1941.
8. Adanya perbedaan kepentingan dan pertentangan-pertentangan pribadi.
Akulturasi (aculturation)
Akulturasi adalah berpadunya dua kebudayaan yang berbeda dan membentuk suatu kebudayaan baru dengan tidak menghilangkan ciri kepribadian masing-masing. Contoh akulturasi adalah Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan India dan kebudayaan Indonesia. Demikian juga musik keroncong yang merupakan perpaduan antara musik Portugis dan musik Indonesia.
Proses akulturasi dapat berjalan sangat cepat atau lambat, tergantung persepsi masyarakat setempat terhadap budaya asing yang masuk. Apabila budaya asing itu masuk melalui proses pemaksaan, maka akulturasi memakan waktu relatif lama. Sebaliknya, apabila budaya asing itu masuk melalui proses damai, akulturasi akan terjadi secara cepat.
Saturday, March 26, 2016
Tingkatan Norma
Pada mulanya norma terbentuk secara tidak terencana. Pada saat itu, norma hanya sebagai konsekuensi hidup bersama. Aturan atau norma ini hanya berupa perintah lisan dari orang yang lebih tua atau orang yang dituakan. Lama-kelamaan, perintah lisan tersebut berkembang menjadi aturan atau norma tertulis yang sengaja dibuat agar lebih mudah dipelajari dan tidak mudah untuk berubah-ubah. Dengan demikian, diandaikan akan adanya kepastian dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh, dalam praktik jual beli, pada mulanya perantara (calo) tidak mendapat keuntungan dari penjual maupun pembeli. Apabila ada imbalan, itu hanya sebatas kerelaan saja. Namun, lama-kelamaan perantara tersebut mendapat bagian keuntungan dan imbalan jasa dengan jumlah tertentu dari transaksi yang terjadi. Akhirnya, memberi upah bagi calo merupakan sesuatu yang lazim berlaku dalam proses jual beli.
Dilihat dari kekuatan mengikat terhadap anggota masyarakat, norma dibedakan menjadi beberapa tingkatan, yaitu cara, kebiasaan, dan tata kelakuan.
1. Cara (usage) adalah norma yang paling lemah daya pengikatnya karena orang yang melanggar hanya mendapat sanksi dari masyarakat berupa cemoohan atau ejekan saja. Cara atau usage menunjuk pada suatu perbuatan yang berkaitan dengan hubungan antarindividu dalam masyarakat. Sebagai contoh, ketika sedang makan orang yang bersendawa atau mengeluarkan bunyi tertentu sebagai tanda kenyang. Tindakan tersebut bagi masyarakat tertentu dianggap tidak sopan. Sanksi terhadap tindakan ini berupa sikap tersinggung dan cemoohan.
2. Kebiasaan (folkways) adalah suatu aturan dengan kekuatan mengikat yang lebih kuat daripada usage karena kebiasaan merupakan perbuatan yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi bukti bahwa orang yang melakukannya menyukai dan menyadari perbuatannya. Kebiasaan ini apabila dilakukan oleh sebagian besar anggota masyarakat disebut dengan tradisi dan menjadi identitas atau ciri masyarakat yang bersangkutan. Contoh:
• Kebiasaan menghormati dan mematuhi orang yang lebih tua.
• Kebiasaan menggunakan tangan kanan apabila hendak memberikan sesuatu kepada orang lain.
• Kebiasaan mengunjungi kerabat yang lebih tua pada hari raya keagamaan.
3. Tata Kelakuan (mores) adalah aturan yang sudah diterima masyarakat dan dijadikan alat pengawas atau kontrol, secara sadar atau tidak sadar, oleh masyarakat kepada anggota-anggotanya. Tata kelakuan mengharuskan atau melarang anggota masyarakat untuk menyesuaikan tindakan terhadap apa yang berlaku. Pelanggaran terhadap tata kelakuan akan diberi sanksi berat seperti diarak di depan umum atau bahkan dirajam.
Contoh:
• Larangan buang air kecil di sembarang tempat.
• Larangan berzina
Dilihat dari kekuatan mengikat terhadap anggota masyarakat, norma dibedakan menjadi beberapa tingkatan, yaitu cara, kebiasaan, dan tata kelakuan.
1. Cara (usage) adalah norma yang paling lemah daya pengikatnya karena orang yang melanggar hanya mendapat sanksi dari masyarakat berupa cemoohan atau ejekan saja. Cara atau usage menunjuk pada suatu perbuatan yang berkaitan dengan hubungan antarindividu dalam masyarakat. Sebagai contoh, ketika sedang makan orang yang bersendawa atau mengeluarkan bunyi tertentu sebagai tanda kenyang. Tindakan tersebut bagi masyarakat tertentu dianggap tidak sopan. Sanksi terhadap tindakan ini berupa sikap tersinggung dan cemoohan.
2. Kebiasaan (folkways) adalah suatu aturan dengan kekuatan mengikat yang lebih kuat daripada usage karena kebiasaan merupakan perbuatan yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi bukti bahwa orang yang melakukannya menyukai dan menyadari perbuatannya. Kebiasaan ini apabila dilakukan oleh sebagian besar anggota masyarakat disebut dengan tradisi dan menjadi identitas atau ciri masyarakat yang bersangkutan. Contoh:
• Kebiasaan menghormati dan mematuhi orang yang lebih tua.
• Kebiasaan menggunakan tangan kanan apabila hendak memberikan sesuatu kepada orang lain.
• Kebiasaan mengunjungi kerabat yang lebih tua pada hari raya keagamaan.
3. Tata Kelakuan (mores) adalah aturan yang sudah diterima masyarakat dan dijadikan alat pengawas atau kontrol, secara sadar atau tidak sadar, oleh masyarakat kepada anggota-anggotanya. Tata kelakuan mengharuskan atau melarang anggota masyarakat untuk menyesuaikan tindakan terhadap apa yang berlaku. Pelanggaran terhadap tata kelakuan akan diberi sanksi berat seperti diarak di depan umum atau bahkan dirajam.
Contoh:
• Larangan buang air kecil di sembarang tempat.
• Larangan berzina
Friday, March 25, 2016
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan
Apakah sosiologi adalah sebuah ilmu pengetahuan? Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita sebaiknya mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan. Kita mulai dengan apa itu pengetahuan. Pengetahuan muncul karena ada rasa ingin tahu manusia tentang hal-hal dalam kehidupan yang tidak ia mengerti. Manusia ingin mengetahui kebenaran tentang hal-hal tersebut. Setelah manusia memperoleh pengetahuan tentang satu hal, ia akan mencari pengetahuan tentang hal yang lain.
Namun demikian, tidak semua pengetahuan merupakan ilmu. Hanya pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran saja dapat disebut ilmu pengetahuan (science). Sistematis berarti ada urutan-urutan tertentu yang bisa menggambarkan garis besar apa yang ada dalam sebuah pengetahuan. Selain sistematis, pengetahuan tersebut juga harus selalu dapat diperiksa (diselidiki) dengan kritis oleh setiap orang yang ingin mengetahuinya. Dengan demikian, setiap ilmu pengetahuan memiliki beberapa unsur pokok yang tergabung dalam satu kebulatan. Unsur-unsur itu adalah pengetahuan (knowledge), tersusun secara sistematis, menggunakan pemikiran, dan dapat diselidiki secara kritis oleh orang lain atau umum (objektif). Penyelidikan ini harus berdasarkan metode-metode ilmiah.
Ciri Sosiologi sebagai Ilmu Pengetahuan
Sosiologi merupakan sebuah ilmu pengetahuan karena mengandung beberapa unsur di atas tadi. Adapun ciri-ciri sosiologi sebagai ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut.
1. Sosiologi bersifat empiris. Sosiologi dalam melakukan kajian tentang masyarakat didasarkan pada hasil observasi, tidak spekulatif, dan hanya menggunakan akal sehat (commonsense).
2. Sosiologi bersifat teoritis. Sosiologi berusaha menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi adalah kerangka dari unsur-unsur yang didapat di dalam observasi, disusun secara logis, serta memiliki tujuan untuk menjelaskan hubungan sebab akibat.
3. Sosiologi bersifat kumulatif. Teori-teori sosiologi dibentuk berdasarkan teori-teori yang telah ada sebelumnya dalam arti memperbaiki, memperluas, dan memperhalus teori-teori lama.
4. Sosiologi bersifat non-etis. Yang dilakukan sosiologi-bukan mencari baik buruknya suatu fakta, tetapi menjelaskan fakta-fakta tersebut secara analitis. Itulah sebabnya para sosiolog tidak bertugas untuk berkhotbah dan mempergunjingkan baik buruknya tingkah laku sosial suatu masyarakat.
Tokoh pertama yang meletakkan sosiologi sebagai sebuah ilmu adalah Emile Durkheim. Durkheim menyatakan bahwa sosiologi memiliki objek kajian yang jelas yaitu fakta sosial. Durkheim mendefinisikan fakta sosial ini sebagai sebuah cara bertindak, berpikir, dan merasa, yang berada di luar individu dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya. Contoh, kita harus menggunakan tangan kanan ketika bersalaman, kita harus menghormati orang yang lebih tua dan mengucapkan salam ketika bertemu dengan orang lain.
Sementara untuk metodologi, Durkheim mengemukakan konsep bebas nilai (value free). Menurut konsep ini, seorang sosiolog dalam melakukan penelitian terhadap masyarakat perlu melakukan batasan antara yang diteliti dan yang meneliti. Dengan demikian, hasil penelitian yang diperoleh dapat bersifat objektif. Seperti layaknya ilmu alam, Durkheim melihat masyarakat sebagai sebuah laboratorium raksasa dan para sosiolog adalah ilmuwan yang mengamati dan bereksperimen sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat.
Metode-Metode Sosiologi
Mengenai metode ilmiah, sosiologi mengenal dua macam metode ilmiah, yakni metode kualitatif dan kuantitatif.
1. Metode kualitatif mengutamakan cara kerjanya dengan mendeskripsikan hasil penelitian berdasarkan penilaian-penilaian terhadap data yang diperoleh. Metode ini dipakai apabila data hasil penelitian tidak dapat diukur dengan angka.
2. Metode kuantitatif mengutamakan keterangan berdasarkan angka-angka atau gejala-gejala yang diukur dengan skala, indeks, tabel, atau uji statistik.
Sementara itu, langkah-langkah utama dalam sebuah penelitian sosiologi adalah sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi masalah.
2. Merumuskan masalah dan menentukan ruang lingkup penelitian.
3. Merumuskan hipotesa yang relevan dengan masalah yang diajukan.
4. Memilih metode pengumpulan data.
5. Mengumpulkan data.
6. Menafsirkan data.
7. Menarik kesimpulan.
Namun demikian, tidak semua pengetahuan merupakan ilmu. Hanya pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran saja dapat disebut ilmu pengetahuan (science). Sistematis berarti ada urutan-urutan tertentu yang bisa menggambarkan garis besar apa yang ada dalam sebuah pengetahuan. Selain sistematis, pengetahuan tersebut juga harus selalu dapat diperiksa (diselidiki) dengan kritis oleh setiap orang yang ingin mengetahuinya. Dengan demikian, setiap ilmu pengetahuan memiliki beberapa unsur pokok yang tergabung dalam satu kebulatan. Unsur-unsur itu adalah pengetahuan (knowledge), tersusun secara sistematis, menggunakan pemikiran, dan dapat diselidiki secara kritis oleh orang lain atau umum (objektif). Penyelidikan ini harus berdasarkan metode-metode ilmiah.
Ciri Sosiologi sebagai Ilmu Pengetahuan
Sosiologi merupakan sebuah ilmu pengetahuan karena mengandung beberapa unsur di atas tadi. Adapun ciri-ciri sosiologi sebagai ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut.
1. Sosiologi bersifat empiris. Sosiologi dalam melakukan kajian tentang masyarakat didasarkan pada hasil observasi, tidak spekulatif, dan hanya menggunakan akal sehat (commonsense).
2. Sosiologi bersifat teoritis. Sosiologi berusaha menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi adalah kerangka dari unsur-unsur yang didapat di dalam observasi, disusun secara logis, serta memiliki tujuan untuk menjelaskan hubungan sebab akibat.
3. Sosiologi bersifat kumulatif. Teori-teori sosiologi dibentuk berdasarkan teori-teori yang telah ada sebelumnya dalam arti memperbaiki, memperluas, dan memperhalus teori-teori lama.
4. Sosiologi bersifat non-etis. Yang dilakukan sosiologi-bukan mencari baik buruknya suatu fakta, tetapi menjelaskan fakta-fakta tersebut secara analitis. Itulah sebabnya para sosiolog tidak bertugas untuk berkhotbah dan mempergunjingkan baik buruknya tingkah laku sosial suatu masyarakat.
Tokoh pertama yang meletakkan sosiologi sebagai sebuah ilmu adalah Emile Durkheim. Durkheim menyatakan bahwa sosiologi memiliki objek kajian yang jelas yaitu fakta sosial. Durkheim mendefinisikan fakta sosial ini sebagai sebuah cara bertindak, berpikir, dan merasa, yang berada di luar individu dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya. Contoh, kita harus menggunakan tangan kanan ketika bersalaman, kita harus menghormati orang yang lebih tua dan mengucapkan salam ketika bertemu dengan orang lain.
Sementara untuk metodologi, Durkheim mengemukakan konsep bebas nilai (value free). Menurut konsep ini, seorang sosiolog dalam melakukan penelitian terhadap masyarakat perlu melakukan batasan antara yang diteliti dan yang meneliti. Dengan demikian, hasil penelitian yang diperoleh dapat bersifat objektif. Seperti layaknya ilmu alam, Durkheim melihat masyarakat sebagai sebuah laboratorium raksasa dan para sosiolog adalah ilmuwan yang mengamati dan bereksperimen sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat.
Metode-Metode Sosiologi
Mengenai metode ilmiah, sosiologi mengenal dua macam metode ilmiah, yakni metode kualitatif dan kuantitatif.
1. Metode kualitatif mengutamakan cara kerjanya dengan mendeskripsikan hasil penelitian berdasarkan penilaian-penilaian terhadap data yang diperoleh. Metode ini dipakai apabila data hasil penelitian tidak dapat diukur dengan angka.
2. Metode kuantitatif mengutamakan keterangan berdasarkan angka-angka atau gejala-gejala yang diukur dengan skala, indeks, tabel, atau uji statistik.
Sementara itu, langkah-langkah utama dalam sebuah penelitian sosiologi adalah sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi masalah.
2. Merumuskan masalah dan menentukan ruang lingkup penelitian.
3. Merumuskan hipotesa yang relevan dengan masalah yang diajukan.
4. Memilih metode pengumpulan data.
5. Mengumpulkan data.
6. Menafsirkan data.
7. Menarik kesimpulan.
Pokok Bahasan Sosiologi
Untuk mengetahui apa saja yang merupakan pokok bahasan sosiologi, lebih dulu kita melihat beberapa pandangan tokoh-tokoh sosiologi tentang hal tersebut. Dua tokoh perintis yang akan dibahas adalah Emile Durkheim dan Max Weber, sedangkan tokoh masa kini diwakili oleh C. Wright Mills dan Peter L. Berger.
Emile Durkheim
Menurut Durkheim, pokok pembahasan sosiologi adalah fakta-fakta sosial. Yang dimaksud dengan fakta sosial adalah pola-pola atau sistem yang mempengaruhi cara manusia bertindak, berpikir, dan merasa. Fakta sosial tersebut berada di luar individu dan mempunyai kekuatan memaksa dan mengendalikan individu tersebut. Contoh, di sekolah seorang murid diwajibkan untuk datang tepat waktu, menggunakan seragam, dan bersikap hormat kepada guru. Kewajiban-kewajiban tersebut dituangkan ke dalam sebuah aturan dan memiliki sanksi tertentu jika dilanggar. Dari contoh tersebut bisa dilihat adanya sistem yang mempengaruhi cara bertindak, berpikir, dan merasa, yang bersifat memaksa dan mengendalikan si individu (murid). Contoh lain mengenai fakta sosial adalah pembagian kerja (division of labour). Dalam masyarakat terdapat spesialisasi aspek kehidupan, seperti bidang ekonomi, pendidikan, politik, hukum, atau kesenian yang berada di luar individu dan bersifat mengendalikan dan memaksa individu. Kita bertindak harus sesuai dengan aturan-aturan yang terdapat di dalam aspek-aspek tersebut. Sehagai contoh, seorang pelajar harus datang ke sekolah dan belajar sebagaimana aturan pendidikan mensyaratkannya.
Max Weber
Menurut Weber, pokok kajian sosiologi adalah tindakan sosial. Namun, tidak semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan disebut sebagai tindakan sosial hanya jika tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain. Sebagai contoh, menanam bunga untuk kesenangan pribadi bukan merupakan tindakan sosial. Namun, menanam bunga untuk diikutsertakan dalam sebuah lomba sehingga mendapat perhatian orang lain, merupakan tindakan sosial. Contoh lain, orang yang bunuh diri karena penyakit menahun bukan tindakan sosial. Namun, bunuh diri karena mencuri sehingga merasa bersalah kepada orangtuanya merupakan tindakan sosial. Max Weber ingin menekankan bahwa tindakan tertentu dapat memiliki makna subjektif bagi pelakunya. Guna memahami makna subjektif dari tindakan individu tersebut, seorang sosiolog harus mampu melakukan empati (merasa sama atau senasib sepenanggungan dengan orang lain). Dia harus dapat menempatkan dirinya dalam posisi pelaku sehingga dapat menghayati pengalamannya.
Wright Mills
Pokok bahasan sosiologi menurut C. Wright Mills terkenal dengan sebutan khayalan sosiologis (the sociological imagination). Khayalan sosiologis ini diperlukan untuk dapat memahami apa yang terjadi di masyarakat maupun yang ada dalam diri manusia. Menurut Mills, dengan khayalan sosiologis, kita mampu memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi, dan hubungan antara keduanya.
Alat untuk melakukan khayalan sosiologis adalah personal troubles of milieu dan public issues of social structure. Personal troubles of milieu adalah permasalahan pribadi individu dan merupakan ancaman terhadap nilai-nilai pribadi, sedangkan public issues of social structure merupakan hal yang ada di luar jangkauan kehidupan pribadi individu. Sebagai contoh, jika suatu daerah hanya memiliki satu orang yang menganggur, maka pengangguran itu adalah personal trouble. Masalah individual ini pemecahannya bisa lewat peningkatan keterampilan pribadi. Sementara, jika di kota tersebut ada 12 juta penduduk yang menganggur dari 18 juta jiwa yang ada, maka pengangguran tersebut merupakan public issue yang pemecahannya menuntut kajian lebih luas lagi.
Peter L. Berger
Pokok pembahasan sosiologi menurut Berger adalah pengungkapan realitas sosial. Seorang sosiolog harus bisa menyingkap berbagai tabir dan mengungkap tiap helai tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga. Syaratnya, sosiolog tersebut harus mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, pengamatan tabir secara jeli, dan menghindari penilaian normatif. Hal ini disebabkan karena realitas sosial adalah sebuah bentukan dan bukan merupakan sesuatu yang begitu saja ada.
Emile Durkheim
Menurut Durkheim, pokok pembahasan sosiologi adalah fakta-fakta sosial. Yang dimaksud dengan fakta sosial adalah pola-pola atau sistem yang mempengaruhi cara manusia bertindak, berpikir, dan merasa. Fakta sosial tersebut berada di luar individu dan mempunyai kekuatan memaksa dan mengendalikan individu tersebut. Contoh, di sekolah seorang murid diwajibkan untuk datang tepat waktu, menggunakan seragam, dan bersikap hormat kepada guru. Kewajiban-kewajiban tersebut dituangkan ke dalam sebuah aturan dan memiliki sanksi tertentu jika dilanggar. Dari contoh tersebut bisa dilihat adanya sistem yang mempengaruhi cara bertindak, berpikir, dan merasa, yang bersifat memaksa dan mengendalikan si individu (murid). Contoh lain mengenai fakta sosial adalah pembagian kerja (division of labour). Dalam masyarakat terdapat spesialisasi aspek kehidupan, seperti bidang ekonomi, pendidikan, politik, hukum, atau kesenian yang berada di luar individu dan bersifat mengendalikan dan memaksa individu. Kita bertindak harus sesuai dengan aturan-aturan yang terdapat di dalam aspek-aspek tersebut. Sehagai contoh, seorang pelajar harus datang ke sekolah dan belajar sebagaimana aturan pendidikan mensyaratkannya.
Max Weber
Menurut Weber, pokok kajian sosiologi adalah tindakan sosial. Namun, tidak semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan disebut sebagai tindakan sosial hanya jika tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain. Sebagai contoh, menanam bunga untuk kesenangan pribadi bukan merupakan tindakan sosial. Namun, menanam bunga untuk diikutsertakan dalam sebuah lomba sehingga mendapat perhatian orang lain, merupakan tindakan sosial. Contoh lain, orang yang bunuh diri karena penyakit menahun bukan tindakan sosial. Namun, bunuh diri karena mencuri sehingga merasa bersalah kepada orangtuanya merupakan tindakan sosial. Max Weber ingin menekankan bahwa tindakan tertentu dapat memiliki makna subjektif bagi pelakunya. Guna memahami makna subjektif dari tindakan individu tersebut, seorang sosiolog harus mampu melakukan empati (merasa sama atau senasib sepenanggungan dengan orang lain). Dia harus dapat menempatkan dirinya dalam posisi pelaku sehingga dapat menghayati pengalamannya.
Wright Mills
Pokok bahasan sosiologi menurut C. Wright Mills terkenal dengan sebutan khayalan sosiologis (the sociological imagination). Khayalan sosiologis ini diperlukan untuk dapat memahami apa yang terjadi di masyarakat maupun yang ada dalam diri manusia. Menurut Mills, dengan khayalan sosiologis, kita mampu memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi, dan hubungan antara keduanya.
Alat untuk melakukan khayalan sosiologis adalah personal troubles of milieu dan public issues of social structure. Personal troubles of milieu adalah permasalahan pribadi individu dan merupakan ancaman terhadap nilai-nilai pribadi, sedangkan public issues of social structure merupakan hal yang ada di luar jangkauan kehidupan pribadi individu. Sebagai contoh, jika suatu daerah hanya memiliki satu orang yang menganggur, maka pengangguran itu adalah personal trouble. Masalah individual ini pemecahannya bisa lewat peningkatan keterampilan pribadi. Sementara, jika di kota tersebut ada 12 juta penduduk yang menganggur dari 18 juta jiwa yang ada, maka pengangguran tersebut merupakan public issue yang pemecahannya menuntut kajian lebih luas lagi.
Peter L. Berger
Pokok pembahasan sosiologi menurut Berger adalah pengungkapan realitas sosial. Seorang sosiolog harus bisa menyingkap berbagai tabir dan mengungkap tiap helai tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga. Syaratnya, sosiolog tersebut harus mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, pengamatan tabir secara jeli, dan menghindari penilaian normatif. Hal ini disebabkan karena realitas sosial adalah sebuah bentukan dan bukan merupakan sesuatu yang begitu saja ada.
Perkembangan Sosiologi di Indonesia
Sosiologi di Indonesia sebenarnya telah berkembang sejak zaman dahulu. Walaupun tidak mempelajari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, para pujangga dan tokoh bangsa Indonesia telah banyak memasukkan unsur-unsur sosiologi dalam ajaran-ajaran mereka. Sri Paduka Mangkunegoro IV, misalnya, telah memasukkan unsur tata hubungan manusia pada berbagai golongan yang berbeda (intergroup relation) dalam ajaran Wulang Reh.
Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara yang dikenal sebagai peletak dasar pendidikan nasional Indonesia banyak mempraktikkan konsep-konsep penting sosiologi seperti kepemimpinan dan kekeluargaan dalam proses pendidikan di Taman Siswa yang didirikannya. Hal yang sama dapat juga kita selidiki dari berbagai karya tentang Indonesia yang ditulis oleh beberapa orang Belanda seperti Snouck Hurgronje dan Van Volenhaven sekitar abad 19. Mereka menggunakan unsur-unsur sosiologi sebagai kerangka berpikir untuk memahami masyarakat Indonesia. Snouck Hurgronje, misalnya, menggunakan pendekatan sosiologis untuk memahami masyarakat Aceh yang hasilnya dipergunakan oleh pemerintah Belanda untuk menguasai daerah tersebut.
Dari uraian di atas terlihat bahwa sosiologi di Indonesia pada awalnya, yakni sebelum Perang Dunia II hanya dianggap sebagai ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain, sosiologi belum dianggap cukup penting untuk dipelajari dan digunakan sebagai ilmu pengetahuan, yang terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain.
Secara formal, Sekolah Tinggi Hukum (Rechtsshogeschool) di Jakarta pada waktu itu menjadi satu-satunya lembaga perguruan tinggi yang mengajarkan mata kuliah sosiologi di Indonesia walaupun hanya sebagai pelengkap mata kuliah ilmu hukum. Namun, seiring perjalanan waktu, mata kuliah tersebut kemudian ditiadakan dengan alasan bahwa pengetahuan tentang bentuk dan susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum. Dalam pandangan mereka, yang perlu diketahui hanyalah perumusan peraturannya dan sistem-sistem untuk menafsirkannya. Sementara, penyebab terjadinya sebuah peraturan dan tujuan sebuah peraturan dianggap tidaklah penting.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, sosiologi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Adalah Soenario Kolopaking yang pertama kali memberikan kuliah sosiologi dalam bahasa Indonesia pada tahun 1948 di Akademi Ilmu Politik Yogyakarta (sekarang menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM). Akibatnya, sosiologi mulai mendapat tempat dalam insan akademisi di Indonesia apalagi setelah semakin terbukanya kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk menuntut ilmu di luar negeri sejak tahun 1950. Banyak para pelajar Indonesia yang khusus memperdalam sosiologi di luar negeri, kemudian mengajarkan ilmu itu di Indonesia.
Buku sosiologi dalam bahasa Indonesia pertama kali diterbitkan oleh Djody Gondokusumo dengan judul Sosiologi Indonesia yang memuat beberapa pengertian mendasar dari sosiologi. Kehadiran buku ini mendapat sambutan baik dari golongan terpelajar di Indonesia mengingat situasi revolusi yang terjadi saat itu. Buku ini seakan mengobati kehausan mereka akan ilmu yang dapat membantu mereka dalam usaha memahami perubahan-perubahan yang terjadi demikian cepat dalam masyarakat Indonesia saat itu. Selepas itu, muncul buku sosiologi yang diterbitkan oleh Bardosono yang merupakan sebuah diktat kuliah sosiologi yang ditulis oleh seorang mahasiswa.
Selanjutnya bermunculan buku-buku sosiologi baik yang tulis oleh orang Indonesia maupun yang merupakan terjemahan dari bahasa asing. Sebagai contoh, buku Social Changes in Yogyakarta karya Selo Soemardjan yang terbit pada tahun 1962. Tidak kurang pentingnya, tulisan-tulisan tentang masalah-masalah sosiologi yang tersebar di berbagai majalah, koran, dan jurnal. Selain itu, muncul pula fakultas ilmu sosial dan politik berbagai universitas di Indonesia di mana sosiologi mulai dipelajari secara lebih mendalam bahkan pada beberapa universitas, didirikan jurusan sosiologi yang diharapkan dapat mempercepat dan memperluas perkembangan sosiologi di Indonesia.
Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara yang dikenal sebagai peletak dasar pendidikan nasional Indonesia banyak mempraktikkan konsep-konsep penting sosiologi seperti kepemimpinan dan kekeluargaan dalam proses pendidikan di Taman Siswa yang didirikannya. Hal yang sama dapat juga kita selidiki dari berbagai karya tentang Indonesia yang ditulis oleh beberapa orang Belanda seperti Snouck Hurgronje dan Van Volenhaven sekitar abad 19. Mereka menggunakan unsur-unsur sosiologi sebagai kerangka berpikir untuk memahami masyarakat Indonesia. Snouck Hurgronje, misalnya, menggunakan pendekatan sosiologis untuk memahami masyarakat Aceh yang hasilnya dipergunakan oleh pemerintah Belanda untuk menguasai daerah tersebut.
Dari uraian di atas terlihat bahwa sosiologi di Indonesia pada awalnya, yakni sebelum Perang Dunia II hanya dianggap sebagai ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain, sosiologi belum dianggap cukup penting untuk dipelajari dan digunakan sebagai ilmu pengetahuan, yang terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain.
Secara formal, Sekolah Tinggi Hukum (Rechtsshogeschool) di Jakarta pada waktu itu menjadi satu-satunya lembaga perguruan tinggi yang mengajarkan mata kuliah sosiologi di Indonesia walaupun hanya sebagai pelengkap mata kuliah ilmu hukum. Namun, seiring perjalanan waktu, mata kuliah tersebut kemudian ditiadakan dengan alasan bahwa pengetahuan tentang bentuk dan susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum. Dalam pandangan mereka, yang perlu diketahui hanyalah perumusan peraturannya dan sistem-sistem untuk menafsirkannya. Sementara, penyebab terjadinya sebuah peraturan dan tujuan sebuah peraturan dianggap tidaklah penting.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, sosiologi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Adalah Soenario Kolopaking yang pertama kali memberikan kuliah sosiologi dalam bahasa Indonesia pada tahun 1948 di Akademi Ilmu Politik Yogyakarta (sekarang menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM). Akibatnya, sosiologi mulai mendapat tempat dalam insan akademisi di Indonesia apalagi setelah semakin terbukanya kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk menuntut ilmu di luar negeri sejak tahun 1950. Banyak para pelajar Indonesia yang khusus memperdalam sosiologi di luar negeri, kemudian mengajarkan ilmu itu di Indonesia.
Buku sosiologi dalam bahasa Indonesia pertama kali diterbitkan oleh Djody Gondokusumo dengan judul Sosiologi Indonesia yang memuat beberapa pengertian mendasar dari sosiologi. Kehadiran buku ini mendapat sambutan baik dari golongan terpelajar di Indonesia mengingat situasi revolusi yang terjadi saat itu. Buku ini seakan mengobati kehausan mereka akan ilmu yang dapat membantu mereka dalam usaha memahami perubahan-perubahan yang terjadi demikian cepat dalam masyarakat Indonesia saat itu. Selepas itu, muncul buku sosiologi yang diterbitkan oleh Bardosono yang merupakan sebuah diktat kuliah sosiologi yang ditulis oleh seorang mahasiswa.
Selanjutnya bermunculan buku-buku sosiologi baik yang tulis oleh orang Indonesia maupun yang merupakan terjemahan dari bahasa asing. Sebagai contoh, buku Social Changes in Yogyakarta karya Selo Soemardjan yang terbit pada tahun 1962. Tidak kurang pentingnya, tulisan-tulisan tentang masalah-masalah sosiologi yang tersebar di berbagai majalah, koran, dan jurnal. Selain itu, muncul pula fakultas ilmu sosial dan politik berbagai universitas di Indonesia di mana sosiologi mulai dipelajari secara lebih mendalam bahkan pada beberapa universitas, didirikan jurusan sosiologi yang diharapkan dapat mempercepat dan memperluas perkembangan sosiologi di Indonesia.
Perkembangan Sosiologi di Eropa
Setelah mengetahui bahwa sosiologi merupakan sebuah ilmu pengetahuan, Anda mungkin bertanya bagaimana perkembangan sosiologi hingga mencapai bentuknya seperti sekarang. Sosiologi awalnya menjadi bagian dari filsafat sosial. Ilmu ini membahas tentang masyarakat. Namun saat itu, pembahasan tentang masyarakat hanya berkisar pada hal-hal yang menarik perhatian umum saja, seperti perang, ketegangan atau konflik sosial, dan kekuasaan dalam kelas-kelas penguasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pembahasan tentang masyarakat meningkat pada cakupan yang lebih mendalam yakni menyangkut susunan kehidupan yang diharapkan dan norma-norma yang harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat. Sejak itu, berkembanglah satu kajian baru tentang masyarakat yang disebut sosiologi.
Menurut Berger dan Berger, sosiologi berkembang menjadi ilmu yang berdiri sendiri karena adanya ancaman terhadap tatanan sosial yang selama ini dianggap sudah seharusnya demikian nyata dan benar (threats to the taken for granted world). L. Laeyendecker mengidentifikasi ancaman tersebut meliputi:
1. terjadinya dua revolusi, yakni revolusi industri dan revolusi Prancis,
2. tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15,
3. perubahan di bidang sosial dan politik,
4. perubahan yang terjadi akibat gerakan reformasi yang dicetuskan Martin Luther,
5. meningkatnya individualisme,
6. lahirnya ilmu pengetahuan modern,
7. berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri.
Menurut Laeyendecker, ancaman-ancaman tersebut menyebabkan perubahan-perubahan jangka panjang yang ketika itu sangat mengguncang masyarakat Eropa dan seakan membangunkannya setelah terlena beberapa abad.
Auguste Comte, seorang filsuf Prancis, melihat perubahan-perubahan tersebut tidak saja bersifat positif seperti berkembangnya demokratisasi dalam masyarakat, tetapi juga berdampak negatif. Salah satu dampak negatif tersebut adalah terjadinya konflik antarkelas dalam masyarakat. Menurut Comte, konflik-konflik tersebut terjadi karena hilangnya norma atau pegangan (normless) bagi masyarakat dalam bertindak. Comte berkaca dari apa yang terjadi dalam masyarakat Prancis ketika itu (abad ke-19). Setelah pecahnya Revolusi Prancis, masyarakat Prancis dilanda konflik antarkelas. Comte melihat hal itu terjadi karena masyarakat tidak lagi mengetahui bagaimana mengatasi perubahan akibat revolusi dan hukum-hukum apa saja yang dapat dipakai untuk mengatur tatanan sosial masyarakat.
Oleh karena itu, Comte menyarankan agar semua penelitian tentang masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri. Comte membayangkan suatu penemuan hukum-hukum yang dapat mengatur gejala-gejala sosial. Namun, Comte belum berhasil mengembangkan hukum-hukum sosial tersebut menjadi sebuah ilmu. Ia hanya memberi istilah bagi ilmu yang akan lahir itu dengan istilah sosiologi. Sosiologi baru berkembang menjadi sebuah ilmu setelah Emile Durkheim mengembangkan metodologi sosiologi melalui bukunya Rules of Sociological Method. Meskipun demikian, atas jasanya terhadap lahirnya sosiologi, Auguste Comte tetap disebut sebagai Bapak Sosiologi.
Meskipun Comte menciptakan istilah sosiologi, Herbert Spencer-lah yang mempopulerkan istilah tersebut melalui buku Principles of Sociology. Di dalam buku tersebut, Spencer mengembangkan sistem penelitian tentang masyarakat. Ia menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang evolusi sosial yang diterima secara luas di masyarakat. Menurut Comte, suatu organ akan lebih sempurna jika organ itu hertambah kompleks karena ada diferensiasi (proses pembedaan) di dalam bagian-bagiannya. Spencer melihat masyarakat sebagai sebuah sistem yang tersusun atas bagian-bagian yang saling bergantung sebagaimana pada organisme hidup. Evolusi dan perkembangan sosial pada dasarnya akan berarti jika ada peningkatan diferensiasi dan integrasi, peningkatan pembagian kerja, dan suatu transisi dari homogen ke heterogen dari kondisi yang sederhana ke yang kompleks. Setelah buku Spencer tersebut terbit, sosiologi kemudian berkembang dengan pesat ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Menurut Berger dan Berger, sosiologi berkembang menjadi ilmu yang berdiri sendiri karena adanya ancaman terhadap tatanan sosial yang selama ini dianggap sudah seharusnya demikian nyata dan benar (threats to the taken for granted world). L. Laeyendecker mengidentifikasi ancaman tersebut meliputi:
1. terjadinya dua revolusi, yakni revolusi industri dan revolusi Prancis,
2. tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15,
3. perubahan di bidang sosial dan politik,
4. perubahan yang terjadi akibat gerakan reformasi yang dicetuskan Martin Luther,
5. meningkatnya individualisme,
6. lahirnya ilmu pengetahuan modern,
7. berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri.
Menurut Laeyendecker, ancaman-ancaman tersebut menyebabkan perubahan-perubahan jangka panjang yang ketika itu sangat mengguncang masyarakat Eropa dan seakan membangunkannya setelah terlena beberapa abad.
Auguste Comte, seorang filsuf Prancis, melihat perubahan-perubahan tersebut tidak saja bersifat positif seperti berkembangnya demokratisasi dalam masyarakat, tetapi juga berdampak negatif. Salah satu dampak negatif tersebut adalah terjadinya konflik antarkelas dalam masyarakat. Menurut Comte, konflik-konflik tersebut terjadi karena hilangnya norma atau pegangan (normless) bagi masyarakat dalam bertindak. Comte berkaca dari apa yang terjadi dalam masyarakat Prancis ketika itu (abad ke-19). Setelah pecahnya Revolusi Prancis, masyarakat Prancis dilanda konflik antarkelas. Comte melihat hal itu terjadi karena masyarakat tidak lagi mengetahui bagaimana mengatasi perubahan akibat revolusi dan hukum-hukum apa saja yang dapat dipakai untuk mengatur tatanan sosial masyarakat.
Oleh karena itu, Comte menyarankan agar semua penelitian tentang masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri. Comte membayangkan suatu penemuan hukum-hukum yang dapat mengatur gejala-gejala sosial. Namun, Comte belum berhasil mengembangkan hukum-hukum sosial tersebut menjadi sebuah ilmu. Ia hanya memberi istilah bagi ilmu yang akan lahir itu dengan istilah sosiologi. Sosiologi baru berkembang menjadi sebuah ilmu setelah Emile Durkheim mengembangkan metodologi sosiologi melalui bukunya Rules of Sociological Method. Meskipun demikian, atas jasanya terhadap lahirnya sosiologi, Auguste Comte tetap disebut sebagai Bapak Sosiologi.
Meskipun Comte menciptakan istilah sosiologi, Herbert Spencer-lah yang mempopulerkan istilah tersebut melalui buku Principles of Sociology. Di dalam buku tersebut, Spencer mengembangkan sistem penelitian tentang masyarakat. Ia menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang evolusi sosial yang diterima secara luas di masyarakat. Menurut Comte, suatu organ akan lebih sempurna jika organ itu hertambah kompleks karena ada diferensiasi (proses pembedaan) di dalam bagian-bagiannya. Spencer melihat masyarakat sebagai sebuah sistem yang tersusun atas bagian-bagian yang saling bergantung sebagaimana pada organisme hidup. Evolusi dan perkembangan sosial pada dasarnya akan berarti jika ada peningkatan diferensiasi dan integrasi, peningkatan pembagian kerja, dan suatu transisi dari homogen ke heterogen dari kondisi yang sederhana ke yang kompleks. Setelah buku Spencer tersebut terbit, sosiologi kemudian berkembang dengan pesat ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Pengertian Wilayah dan Perwilayahan
Wilayah (region) adalah suatu areal (kecil atau besar) yang memiliki karakteristik tertentu berbeda dengan wilayah yang lain. Suatu wilayah dapat diklasifikasikan berdasarkan satu/beberapa karakteristik. Perwilayahan adalah pembagian wilayah.
Karakteristik Wilayah
Karakteristik wilayah dapat ditentukan berdasarkan beberapa aspek yaitu:
1. Aspek fisik yaitu wilayah berdasarkan iklim, relief, tipe batuan, pola pertanian, dan vegetasi alam.
Contoh:
a) Wilayah berdasarkan iklim, seperti wilayah tropis, wilayah subtropis, wilayah sedang, dan wilayah kutub.
b) Wilayah berdasarkan relief Bumi (ketinggian tempat), seperti wilayah pantai, wilayah dataran rendah, wilayah dataran tinggi, dan wilayah pegunungan.
c) Berdasarkan jenis tanah, seperti wilayah aluvial, wilayah terra rosa, wilayah vulkanik, dan lain sebagainya.
d) Berdasarkan vegetasi alam, seperti bioma hutan hujan tropis, hutan musim, sabana, stepa, gurun, taiga, dan tundra.
2. Aspek nonfisik (sosial budaya) yaitu wilayah berdasarkan tingkat kebudayaannya.
Contohnya: wilayah pedesaan, wilayah perkotaan, wilayah industri, dan wilayah agraris.
Wilayah Formal dan Wilayah Fungsional
1. Wilayah formal
Wilayah formal disebut juga uniform region/homogeneous adalah suatu wilayah yang memiliki keseragaman atau kesamaan dalam kriteria tertentu, baik fisik maupun sosialnya.
Contohnya:
• Suatu wilayah mempunyai keseragaman dalam bidang kegiatan bercocok tanam disebut wilayah pertanian.
2. Wilayah fungsional
Wilayah fungsional disebut juga wilayah nodus (nodal region) adalah wilayah dalam banyak hal diatur oleh beberapa pusat kegiatan yang saling dihubungkan dengan garis melingkar dan ditandai dengan adanya hubungan atau interaksi dengan wilayah di sekitarnya. Menurut J.W. Alexander wilayah fungsional merupakan wilayah yang terdapat pusat aktivitas sebagai mata rantai utama suatu sistem.
Contoh:
Suatu industri didirikan pada suatu wilayah sehingga menyerap banyak tenaga kerja. Setiap pagi karyawan berangkat bekerja menuju pabrik. Pada sore hari mereka berbondong-bondong pulang ke rumah masing-masing. Kondisi tersebut membentuk pabrik sebagai pusat (core) dan daerah di sekitarnya menjadi daerah pemukiman pekerja. Pabrik membutuhkan pekerja dan pekerja membutuhkan tempat bekerja. Berikut ini merupakan ciri-ciri wilayah fungsional.
a) Wilayahnya dinamis.
b) Wilayahnya aktif.
c) Terbentuk secara terus-menerus.
d) Terdapat dorongan yang dapat mengubahnya.
Regionalisasi (Perwilayahan)
Regionalisasi berarti membagi wilayah-wilayah tertentu di permukaan bumi untuk tujuan tertentu. Misalnya regionalisasi berdasarkan morfologi daerah yaitu daerah pantai, daerah dataran rendah, daerah perbukitan, dan daerah pegunungan.
Manfaat regionalisasi antara lain memisahkan sesuatu yang berguna dari yang tidak berguna, mengurutkan keanekaragaman permukaan bumi yang sangat beragam, dan memantau perubahan-perubahan yang terjadi baik peristiwa alam maupun manusia.
Untuk menentukan regionalisasi wilayah kita harus memperhatikan keadaan fisik yang meliputi iklim dan morfologi, dan keadaan sosial budaya yang meliputi penduduk, sumber daya alam serta kebudayaan penduduk.
Perwilayahan yang berdasarkan keadaan fisik maupun keadaan sosial dibedakan menjadi dua yaitu generalisasi wilayah (region generalization) dan klasifikasi wilayah (region classification).
Karakteristik Wilayah
Karakteristik wilayah dapat ditentukan berdasarkan beberapa aspek yaitu:
1. Aspek fisik yaitu wilayah berdasarkan iklim, relief, tipe batuan, pola pertanian, dan vegetasi alam.
Contoh:
a) Wilayah berdasarkan iklim, seperti wilayah tropis, wilayah subtropis, wilayah sedang, dan wilayah kutub.
b) Wilayah berdasarkan relief Bumi (ketinggian tempat), seperti wilayah pantai, wilayah dataran rendah, wilayah dataran tinggi, dan wilayah pegunungan.
c) Berdasarkan jenis tanah, seperti wilayah aluvial, wilayah terra rosa, wilayah vulkanik, dan lain sebagainya.
d) Berdasarkan vegetasi alam, seperti bioma hutan hujan tropis, hutan musim, sabana, stepa, gurun, taiga, dan tundra.
2. Aspek nonfisik (sosial budaya) yaitu wilayah berdasarkan tingkat kebudayaannya.
Contohnya: wilayah pedesaan, wilayah perkotaan, wilayah industri, dan wilayah agraris.
Wilayah Formal dan Wilayah Fungsional
1. Wilayah formal
Wilayah formal disebut juga uniform region/homogeneous adalah suatu wilayah yang memiliki keseragaman atau kesamaan dalam kriteria tertentu, baik fisik maupun sosialnya.
Contohnya:
• Suatu wilayah mempunyai keseragaman dalam bidang kegiatan bercocok tanam disebut wilayah pertanian.
2. Wilayah fungsional
Wilayah fungsional disebut juga wilayah nodus (nodal region) adalah wilayah dalam banyak hal diatur oleh beberapa pusat kegiatan yang saling dihubungkan dengan garis melingkar dan ditandai dengan adanya hubungan atau interaksi dengan wilayah di sekitarnya. Menurut J.W. Alexander wilayah fungsional merupakan wilayah yang terdapat pusat aktivitas sebagai mata rantai utama suatu sistem.
Contoh:
Suatu industri didirikan pada suatu wilayah sehingga menyerap banyak tenaga kerja. Setiap pagi karyawan berangkat bekerja menuju pabrik. Pada sore hari mereka berbondong-bondong pulang ke rumah masing-masing. Kondisi tersebut membentuk pabrik sebagai pusat (core) dan daerah di sekitarnya menjadi daerah pemukiman pekerja. Pabrik membutuhkan pekerja dan pekerja membutuhkan tempat bekerja. Berikut ini merupakan ciri-ciri wilayah fungsional.
a) Wilayahnya dinamis.
b) Wilayahnya aktif.
c) Terbentuk secara terus-menerus.
d) Terdapat dorongan yang dapat mengubahnya.
Regionalisasi (Perwilayahan)
Regionalisasi berarti membagi wilayah-wilayah tertentu di permukaan bumi untuk tujuan tertentu. Misalnya regionalisasi berdasarkan morfologi daerah yaitu daerah pantai, daerah dataran rendah, daerah perbukitan, dan daerah pegunungan.
Manfaat regionalisasi antara lain memisahkan sesuatu yang berguna dari yang tidak berguna, mengurutkan keanekaragaman permukaan bumi yang sangat beragam, dan memantau perubahan-perubahan yang terjadi baik peristiwa alam maupun manusia.
Untuk menentukan regionalisasi wilayah kita harus memperhatikan keadaan fisik yang meliputi iklim dan morfologi, dan keadaan sosial budaya yang meliputi penduduk, sumber daya alam serta kebudayaan penduduk.
Perwilayahan yang berdasarkan keadaan fisik maupun keadaan sosial dibedakan menjadi dua yaitu generalisasi wilayah (region generalization) dan klasifikasi wilayah (region classification).
Pengertian sosiologi menurut para ahli
Ketika pertama kali membuka buku sosiologi ini, Anda mungkin bertanya apakah sosiologi itu? Apa saja yang dipelajari dalam sosiologi? Apa saja yang dilakukan oleh seorang sosiolog? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu bisa kita dapatkan secara sederhana dengan memperhatikan dan membaca berbagai berita di surat kabar atau majalah. Bila kita perhatikan, surat-surat kabar atau majalah selalu menghadirkan cerita tentang apa yang dilakukan manusia baik sebagai individu, kelompok, organisasi, atau masyarakat secara keseluruhan. Sebagai contoh, dalam sebuah surat kabar kita membaca berita tentang pembunuhan. Terhadap peristiwa tersebut, kita mungkin bertanya apa latar belakang sang pembunuh melakukan tindakan keji tersebut. Kita coba menjawabnya dengan menelusuri pengalaman sosial orang tersebut, misalnya mungkin dari latar belakang keluarga, pengalaman pendidikan, pengalaman dalam kelompok, dan sebagainya. Dengan penelusuran tersebut kita mungkin menemukan hal-hal rasional yang mungkin mengakibatkan orang tersebut dapat melakukan tindakan pembunuhan. Dengan cara berpikir analitis seperti itu, kita sebenarnya telah menjadi seorang sosiolog.
Namun, sosiologi tidak hanya berbicara tentang kriminalitas (perilaku menyimpang). Fenomena sosial lain seperti kemiskinan, ketidakadilan, konflik, dan kekuasaan juga menjadi objek kajian sosiologi. Singkatnya, sosiologi berusaha mengkaji drama kehidupan sosial manusia terutama tentang tindakan-tindakan manusia baik tindakan individual, tindakan kelompok, tindakan yang lazim (commonplace) maupun tindakan yang tidak lazim (unusual).
Dengan mengambil contoh dan paparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sosiologi adalah sebuah studi sistematis tentang:
1. perilaku sosial dari individu-individu;
2. cara kerja kelompok-kelompok sosial, organisasi, kebudayaan, dan masyarakat;
3. pengaruh dari kelompok, organisasi, kebudayaan, dan masyarakat terhadap perilaku individu dan kelompok.
Meskipun beberapa orang berpendapat bahwa sosiologi hanya memusatkan perhatiannya pada kelompok-kelompok (social group) dan perilaku masyarakat, definisi di atas memberi perhatian pada kenyataan bahwa sosiologi juga menaruh minat pada perilaku-perilaku individu yang dipengaruhi oleh kelompok atau masyarakat.
Lalu, apa pandangan para ahli tentang pengertian dan subjek sosiologi? Ada banyak tokoh yang berusaha mendefinisikan sosiologi. Di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Charles Ellwood mengemukakan bahwa sosiologi merupakan pengetahuan yang menguraikan hubungan manusia dan golongannya, asal dan kemajuannya, bentuk dan kewajibannya.
2. Gustav Ratzenhofer mengemukakan bahwa sosiologi merupakan pengetahuan tentang hubungan manusia dengan kewajibannya untuk menyelidiki dasar dan terjadinya evolusi sosial serta kemakmuran umum bagi anggota-anggotanya.
3. Herbert Spencer mengemukakan bahwa sosiologi mempelajari tumbuh, bangun, dan kewajiban masyarakat.
4. Emile Durkheim menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial, yaitu fakta-fakta yang berisikan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang ada di luar individu. Fakta-fakta tersebut mempunyai kekuatan untuk mengendalikan individu.
5. Max Weber mengemukakan bahwa sosiologi mempelajari tindakan-tindakan sosial.
6. Pitirim A. Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya, gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi), hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dan non-sosial (misainva, pengungsian dengan bencana alam), dan ciri-ciri umum dari semua jenis gejala-gejala sosial.
7. William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu tentang penelitian ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya adalah organisasi sosial.
8. Joseph Roucek dan Warren mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antarmanusia di dalam kelompok.
9. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.
10. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya dan hubungan-hubungan antara orang-orang dalam masyarakat.
11. Mayor Polak menyatakan bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan, yakni antarhubungan di antara manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formal maupun material, statis maupun dinamis.
12. Hasan Shadily menyatakan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antarmanusia yang menguasai kehidupan itu.
Dari pandangan para ahli di atas dapat kita simpulkan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang objek studinya adalah masyarakat. Sosiologi memusatkan kajiannya pada kehidupan kelompok dan produk kehidupan kelompok tersebut. Adat istiadat, tradisi, nilai-nilai hidup suatu kelompok, pengaruhnya terhadap kehidupan kelompok, proses interaksi di antara kelompok dan perkembangan lembaga-lembaga sosial merupakan perhatian sosiologi.
Namun, sosiologi tidak hanya berbicara tentang kriminalitas (perilaku menyimpang). Fenomena sosial lain seperti kemiskinan, ketidakadilan, konflik, dan kekuasaan juga menjadi objek kajian sosiologi. Singkatnya, sosiologi berusaha mengkaji drama kehidupan sosial manusia terutama tentang tindakan-tindakan manusia baik tindakan individual, tindakan kelompok, tindakan yang lazim (commonplace) maupun tindakan yang tidak lazim (unusual).
Dengan mengambil contoh dan paparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sosiologi adalah sebuah studi sistematis tentang:
1. perilaku sosial dari individu-individu;
2. cara kerja kelompok-kelompok sosial, organisasi, kebudayaan, dan masyarakat;
3. pengaruh dari kelompok, organisasi, kebudayaan, dan masyarakat terhadap perilaku individu dan kelompok.
Meskipun beberapa orang berpendapat bahwa sosiologi hanya memusatkan perhatiannya pada kelompok-kelompok (social group) dan perilaku masyarakat, definisi di atas memberi perhatian pada kenyataan bahwa sosiologi juga menaruh minat pada perilaku-perilaku individu yang dipengaruhi oleh kelompok atau masyarakat.
Lalu, apa pandangan para ahli tentang pengertian dan subjek sosiologi? Ada banyak tokoh yang berusaha mendefinisikan sosiologi. Di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Charles Ellwood mengemukakan bahwa sosiologi merupakan pengetahuan yang menguraikan hubungan manusia dan golongannya, asal dan kemajuannya, bentuk dan kewajibannya.
2. Gustav Ratzenhofer mengemukakan bahwa sosiologi merupakan pengetahuan tentang hubungan manusia dengan kewajibannya untuk menyelidiki dasar dan terjadinya evolusi sosial serta kemakmuran umum bagi anggota-anggotanya.
3. Herbert Spencer mengemukakan bahwa sosiologi mempelajari tumbuh, bangun, dan kewajiban masyarakat.
4. Emile Durkheim menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial, yaitu fakta-fakta yang berisikan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang ada di luar individu. Fakta-fakta tersebut mempunyai kekuatan untuk mengendalikan individu.
5. Max Weber mengemukakan bahwa sosiologi mempelajari tindakan-tindakan sosial.
6. Pitirim A. Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya, gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi), hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dan non-sosial (misainva, pengungsian dengan bencana alam), dan ciri-ciri umum dari semua jenis gejala-gejala sosial.
7. William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu tentang penelitian ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya adalah organisasi sosial.
8. Joseph Roucek dan Warren mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antarmanusia di dalam kelompok.
9. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.
10. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya dan hubungan-hubungan antara orang-orang dalam masyarakat.
11. Mayor Polak menyatakan bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan, yakni antarhubungan di antara manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formal maupun material, statis maupun dinamis.
12. Hasan Shadily menyatakan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antarmanusia yang menguasai kehidupan itu.
Dari pandangan para ahli di atas dapat kita simpulkan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang objek studinya adalah masyarakat. Sosiologi memusatkan kajiannya pada kehidupan kelompok dan produk kehidupan kelompok tersebut. Adat istiadat, tradisi, nilai-nilai hidup suatu kelompok, pengaruhnya terhadap kehidupan kelompok, proses interaksi di antara kelompok dan perkembangan lembaga-lembaga sosial merupakan perhatian sosiologi.
Objek Sosiologi dan Spesialisasi dalam Sosiologi
Istilah sosiologi berasal dari kata socius dan logos. Socius (bahasa Latin) berarti kawan dan logos (bahasa Yunani) berarti kata atau berbicara. Dengan demikian, ilmu sosiologi berarti ilmu yang berbicara mengenai masyarakat. Sebagai bagian dari ilmu sosial, objek sosiologi adalah masyarakat. Sosiologi memfokuskan diri pada hubungan-hubungan antarmanusia dan proses yang timbul dari hubungan-hubungan tersebut di dalam masyarakat. Masyarakat sebagai objek studi sosiologi menunjuk pada sejumlah manusia yang telah sekian lama hidup bersama dan mereka menciptakan berbagai peraturan pergaulan hidup sehingga membentuk kebudayaan. Ada beberapa unsur yang terkandung dalam istilah masyarakat ini, yakni:
1. sejumlah manusia yang hidup bersama dalam waktu yang relatif lama. Di dalamnya manusia saling mengerti dan merasa dan mempunyai harapan-harapan sebagai akibat dari hidup bersama itu. Terdapat sistem komunikasi dan peraturan yang mengatur hubungan antarmanusia dalam masyarakat tersebut.
2. manusia yang hidup bersama itu merupakan suatu kesatuan.
3. manusia yang hidup bersama itu merupakan suatu sistem hidup bersama, yaitu hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan di mana setiap anggota masyarakat merasa dirinya masing-masing terikat dengan kelompoknya.
Spesialisasi dalam Sosiologi
Telah kita bahas sebelumnya bahwa sosiologi menaruh minat pada studi tentang perilaku manusia dalam masyarakat. Namun demikian, para sosiolog umumnya memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam melihat objek sosiologi ini. Ada yang mungkin lebih tertarik untuk mengupas tentang perilaku manusia yang menyimpang (sosiologi kriminal), tetapi ada juga yang mungkin lebih tertarik mengupas tentang aspek politik dari kehidupan sosial masyarakat (sosiologi politik). Ketertarikan yang berbeda-beda tersebut menumbuhkan berbagai spesialisasi dan sub-subilmu dalam sosiologi. Sedikitnya ada sekitar 50 spesialisasi dan subilmu dalam sosiologi.
Spesialisasi dan sub-subilmu di atas dalam kenyataannya dapat dibagi lagi dalam subspesialisasi yang lebih kecil. Sebagai contoh, dalam Sosiologi Keluarga dan Pernikahan terdapat subspesialisasi seperti studi Sejarah Sosial Pernikahan dan Keluarga, Pernikahan dan Keluarga di Masyarakat yang Berbeda, Demografi Pernikahan dan Keluarga, Problem Keluarga, serta Studi tentang Anak-Anak.
1. sejumlah manusia yang hidup bersama dalam waktu yang relatif lama. Di dalamnya manusia saling mengerti dan merasa dan mempunyai harapan-harapan sebagai akibat dari hidup bersama itu. Terdapat sistem komunikasi dan peraturan yang mengatur hubungan antarmanusia dalam masyarakat tersebut.
2. manusia yang hidup bersama itu merupakan suatu kesatuan.
3. manusia yang hidup bersama itu merupakan suatu sistem hidup bersama, yaitu hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan di mana setiap anggota masyarakat merasa dirinya masing-masing terikat dengan kelompoknya.
Spesialisasi dalam Sosiologi
Telah kita bahas sebelumnya bahwa sosiologi menaruh minat pada studi tentang perilaku manusia dalam masyarakat. Namun demikian, para sosiolog umumnya memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam melihat objek sosiologi ini. Ada yang mungkin lebih tertarik untuk mengupas tentang perilaku manusia yang menyimpang (sosiologi kriminal), tetapi ada juga yang mungkin lebih tertarik mengupas tentang aspek politik dari kehidupan sosial masyarakat (sosiologi politik). Ketertarikan yang berbeda-beda tersebut menumbuhkan berbagai spesialisasi dan sub-subilmu dalam sosiologi. Sedikitnya ada sekitar 50 spesialisasi dan subilmu dalam sosiologi.
Spesialisasi dan sub-subilmu di atas dalam kenyataannya dapat dibagi lagi dalam subspesialisasi yang lebih kecil. Sebagai contoh, dalam Sosiologi Keluarga dan Pernikahan terdapat subspesialisasi seperti studi Sejarah Sosial Pernikahan dan Keluarga, Pernikahan dan Keluarga di Masyarakat yang Berbeda, Demografi Pernikahan dan Keluarga, Problem Keluarga, serta Studi tentang Anak-Anak.
Beberapa Ide Mendasar dalam Sosiologi
Kita telah mempelajari bahwa dalam sosiologi terdapat berbagai macam spesialisasi atau cabang-cabang ilmu. Namun demikian, setidaknya ada beberapa ide atau konsep mendasar yang disepakati oleh hampir semua sosiolog tentang objek sosiologi. Ide atau konsep mendasar itu adalah sebagai berikut.
1. Masyarakat dan social setting lainnya seperti nilai dan norma sosial adalah hasil karya atau produk manusia. Dalam buku The Social Construction of Reality, Peter L. Berger dan Thomas Luckman mengungkapkan bahwa masyarakat sebagai kenyataan objektif adalah produk manusia. Manusia dengan segala dinamikanya adalah pembentuk masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, masyarakat di mana manusia-manusia berada, nilai, dan aturan-aturan sosial yang menuntun mereka semuanya adalah produk dan buatan manusia.
Sebagai gambaran tentang konsep ini, Arief Budiman memberikan contoh sebagai berikut. Pada zaman dulu, dalam masyarakat kita terdapat larangan menggunting kuku di malam hari karena dianggap tabu. Larangan ini adalah buatan manusia-manusia zaman itu. Ketika itu, masyarakat belum memiliki penerangan yang memadai. Untuk menghindari kecelakaan akibat menggunting kuku dalam keadaan penerangan yang tidak cukup, manusia-manusia menciptakan larangan itu disertai dengan "cap" tabu. Larangan ini tentu tidak sesuai untuk manusia zaman sekarang. Manusia pun tidak menggunakan lagi norma tersebut.
Contoh lain, di Amerika Serikat, pada pertengahan abad ke-19, hak asuh anak pada keluarga yang bercerai diberikan kepada sang suami. Hal ini didasarkan pada kepercayaan bahwa anak adalah milik keluarga pria (suami). Namun pada pertengahan tahun 1800-an, terjadi perubahan di mana hak asuh anak yang masih menyusui diberikan kepada sang istri sampai anak tersebut sudah cukup mandiri untuk diserahkan kepada sang suami. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa anak-anak tersebut masih sangat membutuhkan ibunya. Pada perkembangan selanjutnya, terjadi pergeseran di mana sang istri diberi hak asuh penuh terhadap anak karena anak dianggap lebih baik diasuh oleh ibu daripada ayahnya. Namun, dalam dua dekade terakhir, argumen ini mulai dipertanyakan. Berbagai orang mulai mempertimbangkan untuk membagi hak asuh anak antara suami dan istri. Pertimbangan ini kemudian mempengaruhi keputusan para hakim. Dalam banyak kasus, para hakim memutuskan untuk memberikan hak asuh anak baik kepada sang suami maupun sang istri.
Dari contoh di atas terlihat bahwa segala perubahan yang terjadi dalam masyarakat adalah karena aktivitas manusia. Sosiologi menaruh perhatian pada usaha-usaha individu baik dahulu maupun sekarang dalam mendukung atau mengubah masyarakatnya.
2. Masyarakat mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia. Bagi Berger, manusia sebagai pencipta masyarakat adalah kenyataan objektif dan masyarakat akan mempengaruhi kembali manusia yang menciptakannya. Proses ini berlangsung dalam tiga proses, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Coba perhatikan diri kita sejak bayi hingga sekarang. Ketika lahir, kita hanya memiliki sejumlah tindakan atau gerak refleks. Lama kelamaan, karakter kita mulai dibentuk oleh sejumlah agen sosial. Orangtua sebagai agen sosial keluarga dan masyarakat mulai mengajari sejumlah tindakan, nilai, dan keterampilan dasar untuk hidup seperti cara makan, bicara, dan berbagai tradisi masyarakat lainnya. Ketika usia sekolah, kita mulai mendapat pengaruh dari para guru dalam hal membaca, menulis, serta berbagai standar perilaku dan sikap. Selanjutnya, kita juga banyak dipengaruhi oleh teman, kolega, masyarakat sekitar, media massa seperti koran, televisi, dan sebagainya.
Contoh yang paling nyata bagaimana pengaruh masyarakat terhadap perilaku seseorang adalah dalam hal pakaian dan model rambut. Sadar atau tidak, model pakaian dan rambut kita sangat dipengaruhi oleh masyarakat. Coba telusuri model pakaian dan rambut masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu hingga sekarang! Terlihat bahwa manusia diubah oleh masyarakatnya. Perubahan itu tidak terbatas hanya pada pakaian atau model rambut saja, tetapi juga mencakup sikap, kepercayaan, perilaku hidup, moralitas, politik, agama, maupun pekerjaan. Ketika memasuki babak baru kehidupan, ketika memasuki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, ketika masuk pekerjaan baru, komunitas baru, kita terus diubah dan dibentuk masyarakat.
1. Masyarakat dan social setting lainnya seperti nilai dan norma sosial adalah hasil karya atau produk manusia. Dalam buku The Social Construction of Reality, Peter L. Berger dan Thomas Luckman mengungkapkan bahwa masyarakat sebagai kenyataan objektif adalah produk manusia. Manusia dengan segala dinamikanya adalah pembentuk masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, masyarakat di mana manusia-manusia berada, nilai, dan aturan-aturan sosial yang menuntun mereka semuanya adalah produk dan buatan manusia.
Sebagai gambaran tentang konsep ini, Arief Budiman memberikan contoh sebagai berikut. Pada zaman dulu, dalam masyarakat kita terdapat larangan menggunting kuku di malam hari karena dianggap tabu. Larangan ini adalah buatan manusia-manusia zaman itu. Ketika itu, masyarakat belum memiliki penerangan yang memadai. Untuk menghindari kecelakaan akibat menggunting kuku dalam keadaan penerangan yang tidak cukup, manusia-manusia menciptakan larangan itu disertai dengan "cap" tabu. Larangan ini tentu tidak sesuai untuk manusia zaman sekarang. Manusia pun tidak menggunakan lagi norma tersebut.
Contoh lain, di Amerika Serikat, pada pertengahan abad ke-19, hak asuh anak pada keluarga yang bercerai diberikan kepada sang suami. Hal ini didasarkan pada kepercayaan bahwa anak adalah milik keluarga pria (suami). Namun pada pertengahan tahun 1800-an, terjadi perubahan di mana hak asuh anak yang masih menyusui diberikan kepada sang istri sampai anak tersebut sudah cukup mandiri untuk diserahkan kepada sang suami. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa anak-anak tersebut masih sangat membutuhkan ibunya. Pada perkembangan selanjutnya, terjadi pergeseran di mana sang istri diberi hak asuh penuh terhadap anak karena anak dianggap lebih baik diasuh oleh ibu daripada ayahnya. Namun, dalam dua dekade terakhir, argumen ini mulai dipertanyakan. Berbagai orang mulai mempertimbangkan untuk membagi hak asuh anak antara suami dan istri. Pertimbangan ini kemudian mempengaruhi keputusan para hakim. Dalam banyak kasus, para hakim memutuskan untuk memberikan hak asuh anak baik kepada sang suami maupun sang istri.
Dari contoh di atas terlihat bahwa segala perubahan yang terjadi dalam masyarakat adalah karena aktivitas manusia. Sosiologi menaruh perhatian pada usaha-usaha individu baik dahulu maupun sekarang dalam mendukung atau mengubah masyarakatnya.
2. Masyarakat mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia. Bagi Berger, manusia sebagai pencipta masyarakat adalah kenyataan objektif dan masyarakat akan mempengaruhi kembali manusia yang menciptakannya. Proses ini berlangsung dalam tiga proses, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Coba perhatikan diri kita sejak bayi hingga sekarang. Ketika lahir, kita hanya memiliki sejumlah tindakan atau gerak refleks. Lama kelamaan, karakter kita mulai dibentuk oleh sejumlah agen sosial. Orangtua sebagai agen sosial keluarga dan masyarakat mulai mengajari sejumlah tindakan, nilai, dan keterampilan dasar untuk hidup seperti cara makan, bicara, dan berbagai tradisi masyarakat lainnya. Ketika usia sekolah, kita mulai mendapat pengaruh dari para guru dalam hal membaca, menulis, serta berbagai standar perilaku dan sikap. Selanjutnya, kita juga banyak dipengaruhi oleh teman, kolega, masyarakat sekitar, media massa seperti koran, televisi, dan sebagainya.
Contoh yang paling nyata bagaimana pengaruh masyarakat terhadap perilaku seseorang adalah dalam hal pakaian dan model rambut. Sadar atau tidak, model pakaian dan rambut kita sangat dipengaruhi oleh masyarakat. Coba telusuri model pakaian dan rambut masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu hingga sekarang! Terlihat bahwa manusia diubah oleh masyarakatnya. Perubahan itu tidak terbatas hanya pada pakaian atau model rambut saja, tetapi juga mencakup sikap, kepercayaan, perilaku hidup, moralitas, politik, agama, maupun pekerjaan. Ketika memasuki babak baru kehidupan, ketika memasuki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, ketika masuk pekerjaan baru, komunitas baru, kita terus diubah dan dibentuk masyarakat.
Thursday, March 24, 2016
Pengertian Inflasi
Salah satu masalah makro ekonomi yang sangat penting dan hampir ditemukan pada setiap negara di dunia, yaitu inflasi. Mengingat pentingnya inflasi dalam suatu perekonomian menjadi penting bagi para pengambil kebijakan makro ekonomi. Tentunya Anda pernah merasakan harga barang atau jasa cenderung terus meningkat dalam periode tertentu, seperti sekarang ini. Secara singkat inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua jenis barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali jika kenaikan itu meluas kepada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi adalah deflasi, yaitu keadaan makin turunnya harga barang-barang, tetapi daya beli masyarakat semakin berkurang.
Dengan demikian, ada tiga ciri bahwa perekonomian dapat dikatakan inflasi, yaitu sebagai berikut.
1) Adanya kecenderungan harga untuk terus meningkat, yang berarti bisa saja tingkat harga yang terjadi pada waktu tertentu turun atau naik dibandingkan dengan sebelumnva, tetapi tetap menunjukkan tendensi yang meningkat.
2) Bahwa kenaikan harga tersebut berlangsung secara terus menerus (sustained), yang berarti bukan terjadi pada suatu waktu saja, tetapi bisa beberapa waktu lamanya.
3) Bahwa tingkat harga yang dimaksud adalah tingkat harga umum, yang berarti tingkat harga yang mengalami kenaikan itu bukan hanya pada satu atau beberapa komoditi saja, tetapi kenaikan harga secara umum.
b. Sebab-Sebab Timbulnya Inflasi
Inflasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Adapun penyebab timbulnya inflasi, di antaranya sebagai berikut.
1) Inflasi Tarikan Permintaan (Demand Pull Inflation) atau Inflasi Sisi Permintaan
Inflasi Tarikan Permintaan adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat dari adanya kenaikan permintaan agregate demand yang terlalu besar dibandingkan dengan penawaran atau produksi agregat barang-barang. Hal ini dikarenakan pemanfaatan sumber daya yang telah mencapai tingkat maksimum tidak dapat ditingkatkan secepatnya untuk mengimbangi permintaan yang semakin meningkat atau bertambah.
Menurut kaum monetaris bahwa kenaikan permintaan diakibatkan oleh bertambahnya jumlah uang yang beredar di masyarakat. Adapun menurut kaum keynesian bahwa kenaikan permintaan disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran konsumsi, investasi, dan pengeluaran pemerintah.
2) Inflasi Dorongan Biaya (Cost Push Inflation) atau Inflasi Sisi Penawaran
Inflasi Dorongan Biaya adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat adanya kenaikan biaya produksi yang pesat dibandingkan dengan produktivitas dan efisiensi sehingga menyebabkan perusahaan mengurangi supply barang dan jasa ke pasar atau Inflasi Dorongan Biaya adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat dari adanya restriksi atau pembatasan terhadap penawaran dari satu atau lebih sumber daya yang mengalami kenaikan atau dinaikan.
3) Inflasi Struktural ( Structural Inflation)
Inflasi Struktural adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat dari adanya berbagai kendala atau kekuatan struktural (structural rigidities) yang menyebabkan penawaran di dalam perekonomian menjadi kurang atau tidak responsive terhadap permintaan yang meningkat.
4) Inflasi Domestik (Domestic Inflation)
Inflasi Domestik adalah inflasi yang berasal dari dalam negeri. Inflasi ini terjadi karena pengaruh kebijakan ekonomi yang terjadi di dalam negeri, seperti terjadinya defisit anggaran belanja negara yang terus menerus atau mencetak uang baru. Hal ini menyebabkan jumlah uang yang dibutuhkan di masyarakat melebihi transaksinya sehingga nilai uang menjadi rendah dan harga barang meningkat.
5) Inflasi Luar Negeri (Imported Inflation)
Inflasi Luar Negeri adalah inflasi yang berasal dari luar negeri. Inflasi ini disebabkan oleh kenaikan harga barang ekspor, seperti teh atau kopi di luar negeri (negara tujuan ekspor) yang harganya mengalami kenaikan dan membawa pengaruh terhadap harga di dalam negeri.
Dengan demikian, ada tiga ciri bahwa perekonomian dapat dikatakan inflasi, yaitu sebagai berikut.
1) Adanya kecenderungan harga untuk terus meningkat, yang berarti bisa saja tingkat harga yang terjadi pada waktu tertentu turun atau naik dibandingkan dengan sebelumnva, tetapi tetap menunjukkan tendensi yang meningkat.
2) Bahwa kenaikan harga tersebut berlangsung secara terus menerus (sustained), yang berarti bukan terjadi pada suatu waktu saja, tetapi bisa beberapa waktu lamanya.
3) Bahwa tingkat harga yang dimaksud adalah tingkat harga umum, yang berarti tingkat harga yang mengalami kenaikan itu bukan hanya pada satu atau beberapa komoditi saja, tetapi kenaikan harga secara umum.
b. Sebab-Sebab Timbulnya Inflasi
Inflasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Adapun penyebab timbulnya inflasi, di antaranya sebagai berikut.
1) Inflasi Tarikan Permintaan (Demand Pull Inflation) atau Inflasi Sisi Permintaan
Inflasi Tarikan Permintaan adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat dari adanya kenaikan permintaan agregate demand yang terlalu besar dibandingkan dengan penawaran atau produksi agregat barang-barang. Hal ini dikarenakan pemanfaatan sumber daya yang telah mencapai tingkat maksimum tidak dapat ditingkatkan secepatnya untuk mengimbangi permintaan yang semakin meningkat atau bertambah.
Menurut kaum monetaris bahwa kenaikan permintaan diakibatkan oleh bertambahnya jumlah uang yang beredar di masyarakat. Adapun menurut kaum keynesian bahwa kenaikan permintaan disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran konsumsi, investasi, dan pengeluaran pemerintah.
2) Inflasi Dorongan Biaya (Cost Push Inflation) atau Inflasi Sisi Penawaran
Inflasi Dorongan Biaya adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat adanya kenaikan biaya produksi yang pesat dibandingkan dengan produktivitas dan efisiensi sehingga menyebabkan perusahaan mengurangi supply barang dan jasa ke pasar atau Inflasi Dorongan Biaya adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat dari adanya restriksi atau pembatasan terhadap penawaran dari satu atau lebih sumber daya yang mengalami kenaikan atau dinaikan.
3) Inflasi Struktural ( Structural Inflation)
Inflasi Struktural adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat dari adanya berbagai kendala atau kekuatan struktural (structural rigidities) yang menyebabkan penawaran di dalam perekonomian menjadi kurang atau tidak responsive terhadap permintaan yang meningkat.
4) Inflasi Domestik (Domestic Inflation)
Inflasi Domestik adalah inflasi yang berasal dari dalam negeri. Inflasi ini terjadi karena pengaruh kebijakan ekonomi yang terjadi di dalam negeri, seperti terjadinya defisit anggaran belanja negara yang terus menerus atau mencetak uang baru. Hal ini menyebabkan jumlah uang yang dibutuhkan di masyarakat melebihi transaksinya sehingga nilai uang menjadi rendah dan harga barang meningkat.
5) Inflasi Luar Negeri (Imported Inflation)
Inflasi Luar Negeri adalah inflasi yang berasal dari luar negeri. Inflasi ini disebabkan oleh kenaikan harga barang ekspor, seperti teh atau kopi di luar negeri (negara tujuan ekspor) yang harganya mengalami kenaikan dan membawa pengaruh terhadap harga di dalam negeri.
Subscribe to:
Posts (Atom)