Monday, March 28, 2016

Konflik dan Kekerasan

Sebagaimana telah kita ketahui, sebuah konflik selalu disertai dengan luapan-luapan perasaan tidak suka, benci, dan amarah. Dari luapan perasaan-perasaan tersebut, timbul keinginan untuk menghancurkan lawan atau pihak lain. Apabila keinginan tersebut diwujudkan dalam sebuah tindakan "menghancurkan lawan" maka pada saat itulah terjadi kekerasan. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa kekerasan adalah bentuk lanjutan dari sebuah konflik sosial.

Dalam KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, kekerasan identik dengan tindakan melukai orang lain dengan sengaja, membunuh, atau memperkosa. Kekerasan seperti itu sering disebut sebagai kekerasan langsung (direct violence). Kekerasan juga menyangkut tindakan-tindakan seperti mengekang, mengurangi, atau meniadakan hak seseorang, serta mengintimidasi, memfitnah, dan meneror orang lain. Bahkan, bagi kaum humanis, tindakan membiarkan atau menjerumuskan seseorang dalam sebuah kekerasan juga merupakan bentuk kekerasan. Sebagai contoh, tindakan membiarkan seorang pencuri dihakimi massa, bagi kaum humanis, adalah sebuah bentuk kekerasan. Kekerasan seperti itu digolongkan sebagai kekerasan tidak langsung (indirect violence).

Secara sosiologis, kekerasan umumnya terjadi saat individu atau kelompok yang berinteraksi mengabaikan norma dan nilai-nilai sosial dalam mencapai tujuan masing-masing. Dengan diabaikannya norma dan nilai sosial itu, timbullah tindakan-tindakan irasional yang cenderung merugikan pihak lain, tetapi menguntungkan diri sendiri. Akibatnya, terjadi konflik yang akan bermuara pada kekerasan.

N.J. Smelser meneliti kekerasan yang bersifat massal atau kerusuhan. Menurutnya, ada lima tahap dalam kerusuhan massal. Kelima tahap itu berlangsung secara kronologis (berurutan) dan tidak dapat terjadi satu atau dua tahap saja. Berikut ini kelima tahap tersebut.
1. Situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kerusuhan yang disebabkan oleh struktur sosial tertentu, seperti tidak adanya sistem tanggung jawab yang jelas dalam masyarakat, atau tidak adanya saluran atau sarana komunikasi untuk mengungkapkan kejengkelan atau ketidakpuasan.

2. Tekanan sosial, yaitu suatu kondisi saat sejumlah besar anggota masyarakat merasa bahwa banyak nilai dan norma yang sudah dilanggar. Tekanan sosial seperti ini tidak cukup untuk menimbulkan kerusuhan atau kekerasan, tetapi dapat menjadi pendorong kemungkinan terjadinya kekerasan.

3. Berkembangnya perasaan kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu, misalnya terhadap pemerintah dan kelompok ras atau kelompok agama tertentu. Sasaran kebencian itu berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa tertentu yang mengawali atau memicu suatu kerusuhan, seperti sindiran dan kata-kata kasar.

4. Tahapan berikutnya adalah mobilisasi untuk beraksi, yaitu tindakan nyata berupa pengorganisasi diri untuk bertindak. Tahap ini merupakan tahap akhir dari akumulasi yang memungkinkan pecahnya kekerasan. Sasaran aksi ini dapat ditujukan pada objek yang langsung memicu kekerasan atau pada objek lain yang tidak ada hubungannya dengan pihak lawan, seperti pemerintah dan polisi.

5. Kontrol sosial yaitu tindakan pihak ketiga seperti aparat keamanan untuk mengendalikan, menghambat, dan mengakhiri kekerasan atau kerusuhan.

No comments:

Post a Comment