Seperti telah dikemukakan sebelumnya, konflik merupakan bagian dari sebuah proses interaksi sosial manusia untuk mencapai tujuan atau harapannya. Sebagai proses sosial, konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu yang terlibat dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut meliputi perbedaan fisik, kepentingan, kebutuhan, pengetahuan, adat-istiadat, dan keyakinan. Dengan ciri-ciri individual yang terdapat dalam interaksi sosial, konflik menjadi bagian yang akan selalu ada (inherent) dalam dinamika sosial suatu masyarakat. Hampir tidak pernah kita temukan suatu masyarakat tanpa konflik, baik antaranggotanya maupun antar kelompok masyarakat.
Pada prinsipnya, suatu konflik dapat terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang terhalang upayanya dalam mencapai tujuan. Hal itu dapat disebabkan perbedaan pandangan terhadap tujuan itu sendiri, norma-norma sosial (yang ingin diubah), maupun terhadap tindakan dalam masyarakat. Apabila sanksi terhadap perbedaan tersebut tidak tegas (tidak berwibawa), dengan sendirinya, langkah pertama menuju konflik bisa terjadi. Situasi itu disebut disorganisasi. Disorganisasi terjadi apabila perbedaan antara tujuan individu atau kelompok dan pelaksanaannya terlalu besar.
Soerjono Soekanto mengemukakan empat faktor yang dapat menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat, yakni perbedaan antarindividu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, dan perubahan sosial.
Perbedaan Antarindividu
Setiap manusia tentu memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Coba perhatikan diri Anda sendiri dan teman-teman sekelas! Tentu Anda akan menemukan adanya perbedaan pendirian dan perasaan antara diri Anda dengan teman-teman Anda atas sesuatu hal. Perbedaan pendirian tersebut dapat menjadi faktor penyebab konflik. Sebagai contoh, Anda dan beberapa teman memiliki pendirian bahwa ketika belajar, suasana kelas haruslah tenang. Sementara itu, teman-teman Anda yang lain berpendirian bahwa belajar sambil bernyanyi adalah sesuatu yang menyenangkan dan membantu. Perbedaan pandangan seperti itu tidak jarang menimbulkan rasa amarah. Hal itu dapat berlanjut pada perasaan benci hingga dapat timbul usaha untuk saling menghancurkan.
Perbedaan Kebudayaan
Anda tentu sudah tahu bahwa kepribadian seseorang sedikit banyak dibentuk oleh kelompoknya. Secara sadar atau tidak, seseorang akan terpengaruh oleh pola-pola pemikiran dan pendirian dari kelompoknya. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan dalam sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kesopanan tentu akan terpengaruh untuk bersikap sopan ketika bertemu atau berbincang dengan orang lain. Sebaliknya, anak yang dibesarkan dalam sebuah masyarakat yang tidak mempedulikan nilai kesopanan tentu akan cenderung mengabaikan kesopanan ketika bertemu atau berbincang dengan orang lain. Dari contoh ini terlihat bahwa perbedaan kepribadian seseorang tergantung dari pola-pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan dan perkembangan kepribadian orang tersebut. Perbedaan kepribadian individu akibat pola kebudayaan yang berbeda seperti itu tidak jarang menjadi penyebab terjadinya konflik antarkelompok masyarakat. Interaksi sosial antarindividu atau antar kelompok dengan pola kebudayaan yang cenderung berlawanan dapat menimbulkan rasa marah dan benci sehingga berakibat konflik.
Perbedaan Kepentingan
Perbedaan kepentingan antarindividu maupun kelompok merupakan faktor lain penyebab konflik atau pertentangan. Setiap individu tentu memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda dalam melihat atau mengerjakan sesuatu. Demikian pula dengan kelompok. Setiap kelompok tentu memiliki kepentingan berbeda-beda dalam melihat atau mengerjakan sesuatu. Kepentingan itu dapat menyangkut kepentingan politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Sebagai contoh, hubungan antara pemerintah daerah (Pemda) dan pengusaha tertentu. Ada pejabat Pemda yang melihat hubungan itu sebagai cara untuk menarik investasi pengusaha dalam pembangunan daerah. Ada juga sebagian pejabat yang melihat hubungan itu sebagai kesempatan untuk mengisi pundi-pundi keuangan pribadinya dengan cara berkolusi dengan pengusaha tersebut. Sementara itu, pihak pengusaha melihat hubungan itu sebagai kesempatan untuk mendapatkan proyek pemerintah dan menambah keuntungan bisnisnya.
Berikut ini contoh lain dalam hal pemanfaatan hutan. Para petani merambah dan menebang hutan sebagai bagian dari kegiatan ekonomi yang diwarisi turun-temurun, yakni untuk membuat kebun atau ladang. Para pengusaha hutan melihat hutan sebagai ladang bisnis; kayunya ditebang, lalu dijual untuk mendapatkan uang, sekaligus untuk membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Sementara itu, bagi pecinta lingkungan, hutan adalah paru-paru dunia yang dapat menyelamatkan dunia dari bocornya lapisan ozon, dari terjadinya banjir, dan sebagainya. Dengan demikian, hutan tidak boleh ditebang dan harus dilestarikan. Perbedaan kepentingan antarindividu atau antarkelompok seperti contoh di atas dapat menimbulkan konflik sosial di masyarakat.
Perubahan Sosial
Masyarakat merupakan sekelompok manusia yang terus berubah seiring dengan berkembangnya kebutuhan dan pengetahuannya. Coba perhatikan masyarakat kita saat ini dan bandingkan dengan keadaan sebelumnya sekitar 10 atau 20 tahun yang lalu. Tentu sangat berbeda. Perubahan-perubahan tersebut tentu juga mempengaruhi cara pandang sebagian anggota masyarakat terhadap nilai, norma, dan pola perilaku masyarakat. Apalagi jika perubahan itu berlangsung dengan cepat dan meluas. Muncullah perilaku-perilaku lain yang dianggap oleh sebagian anggota masyarakat lain sebagai perilaku berlawanan, aneh, dan bertentangan dengan kebudayaan masyarakatnya. Situasi seperti itu dapat memunculkan konflik atau pertentangan.
Sebagai contoh, konflik antara kaum muda dan kaum tua. Biasanya, kaum muda cenderung ingin merombak pola perilaku atau tradisi masyarakatnya, sedangkan kaum tua ingin tetap mempertahankan pola perilaku dan tradisi nenek moyangnya. Hal yang sama dapat kita saksikan dari proses perubahan masyarakat pedesaan di Indonesia beberapa dekade belakangan ini. Masyarakat pedesaan Indonesia saat ini sedang mengalami proses perubahan dari masyarakat yang tradisional ke masyarakat industri. Nilai-nilai tradisional seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan dengan jenis pekerjaannya. Demikian juga dengan nilai-nilai. Nilai kebersamaan berubah menjadi individualis, dan nilai pemanfaatan waktu yang awalnya berorientasi pada fungsi sosial berubah menjadi fungsi materialis, yaitu "waktu adalah uang". Perubahan seperti itu tidak jarang menimbulkan konflik-konflik di tengah masyarakat. Konflik tersebut muncul karena ada upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan. Perubahan itu dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.
No comments:
Post a Comment